Jejak pertama
Yaitu ketika pemakaman dilangsungkan. Â Bagi cahaya terakhir matahari hari ini. Â Lenyap diusung oleh kesenyapan. Â Duka teruntuk kupu-kupu. Â Warna sayapnya pudar tersisa abu-abu. Â Seperti para perantau yang malang. Â Kehilangan jejak jalan pulang. Â Airmata mulai berlinang-linang.
Jejak kedua
Ketika upacara perpisahan bagi warna lembayung diumumkan. Muka-muka murung bertempiasan. Â Dari langit yang merasa diasapi sepi. Â Sebentar lagi semua mata enggan tengadah. Â Kecuali bila purnama menampakkan wajah. Â Pipi langit perlahan-lahan membasah.
Jejak ketiga
Saat suara parau burung hantu bergerak mengetuk setiap pintu. Mengabarkan cerita kematian apa saja. Â Kepada siapa saja. Â Terutama tentang betapa dekatnya jarak kematian dunia kepada kita. Â Membuat kita semua terpaksa berdoa. Â Sambil menyeka sungai yang menuruni pipi kita. Â Tuhan sediakan satu tempat bagiku di surga.
Jejak keempat
Waktu persediaan mimpi yang indah menipis. Â Seperti betapa langkanya jeruk nipis di musim tanpa gerimis. Â Kita menangis. Â Merasa tidur tidak lagi berguna. Â Karena dalam tidurlah kita bisa bermimpi sekehendak kita. Â Melupakan duka dan memunguti bahagia.
Jejak kelima
Senja adalah perbatasan jikalau kita melewati batas. Â Ketika kita menguras keringat tanpa batas. Â Lupa bahwa tubuh yang kita miliki tak lebih dari lipatan kertas. Â Mudah koyak oleh tamak. Â Gampang sekali dirobek-robek kemarahan. Â Meski setelahnya kita menyesal. Â Mohon ampun di waktu malam. Â Lelehanairmata lalu disujudkan.
Jakarta, 23 Juli 2018