1)
Kita tahu. Â Ikatan paling primitif manusia adalah dengan waktu. Â Begitu dilahirkan, tatapan waktu membuat kita menangis sekeras-kerasnya. Â Kata ibu dan bapa, itulah perkenalan dengan udara bagaimana paru-parumu bekerja. Â Kita pasrah saja. Â Toh menangis juga menyenangkan. Â Seperti berlarian sambil bermain hujan.
2)
Waktu lalu mengerek naik bendera masa remaja setinggi-tingginya. Â Memberontak sehebat singa yang terkena jerat di kakinya. Â Tak peduli apa kata orang tua. Â Kita seolah telah menanamkan Che Guevara ke dalam dada. Â Pokoknya adalah frasa yang menempel di ujung lidah. Â Tidak ada yang namanya kata berserah.
3)
Memasuki gerbang waktu selanjutnya.  Hormon dalam tubuh membeludak sekencang lari seekor cheetah yang terluka.  Kita lalu memperkenalkan keberadaan kita terhadap cinta.  Mengatakan dengan jumawa; cinta adalah tentang harga diri.  Jika tak dapat keadilan, maka tersedia pilihan untuk bunuh diri.  Kita juga dicekam rasa percaya yang serendah-rendahnya.  Terhadap apa saja.  Terhadap siapa saja.  Kita merasa selalu saja berada di dalam bara.  Lalu berharap orang-orang mengasihani kita.
4)
Begitu pendulum menyentuh waktu saat kita mulai didewasakan oleh dunia nyata. Â Kita pelan-pelan menyadari bahwa peredaran tata surya ternyata begitu rumitnya. Â Menata hidup tidak semudah menjalankan bidak catur. Â Sebab biasanya kita selalu menyusun rencana untuk kemudian mengeluhkan betapa nasi telah menjadi bubur.
Sementara hubungan kita dengan Sang Pencipta cenderung tidak baik-baik saja. Â Kita berdoa sekhusuk-khusuknya ketika dihampiri malapetaka. Â Tapi kita berpaling selupa-lupanya saat berbangga telah berbahagia.
5)
Waktu lalu mempersilahkan tanah menerima kita bertamu. Â Kita terisak tersedu-sedu di dalam lubang yang menjadi sarang belatung dan kutu. Menyesali dengan rasa pilu kenapa seringkali mengkhianati waktu, menyumpahinya, dan tidak pernah benar-benar sadar bahwa waktu telah mengikat kita dengan sabar. Â Walau sejauh apa kita coba menghindar secara barbar.