Tidak beranjak walaupun barisan sanca hendak melintasi tempat mereka duduk diam sambil memandangi hujan. Â Suara hujan yang datang disangka sebagai tetabuhan gamelan. Â Menyumbangkan irama penuh ketenangan pada hati yang telah lama berbatu nisan. Â Dibakar masa silam. Â Ditikam oleh tajamnya kenangan.
Orang-orang yang menjalani hidup di luar kotak, menganggap gunung bukan sebagai tempat mendaki, namun justru awalan yang tepat untuk terjun bunuh diri.
Orang-orang yang meyakini kotak sebagai penjara, mengira ombak di lautan adalah jilatan manja seekor kucing persia, sedang meminta secawan susu atas kehausan mewahnya.
Orang-orang yang menyingkirkan kotak di kepalanya, adalah orang-orang yang memahami bahwa meringkuk dalam kotak berarti menyerahkan seluruh tubuhnya untuk dikurung waktu. Â Pasrah saja terhadap kesederhanaan cuaca yang sebenarnya bisa dibuat megah. Â Semegah musim hujan saat disambut gembira oleh pematang sawah.
Orang-orang yang selamanya berada di dalam kotak, akan selalu mengatakan bahwa laut berwarna biru, padahal warna itu pantulan dari seberapa cerah wajah langit saat itu. Â Orang-orang itu juga dengan mudah akan mengatakan selalu ada satu kejatuhan dari ribuan kali tupai melompat di antara dahan. Tidak akan pernah menyebutkan berapa ribu kali lompatan itu berhasil. Â Atau seberapa indah lompatan itu membelah angin menjadi berkeping-keping.
Kampus Fahutan IPB, 21 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H