Pucuk cemara meneteskan airmata. Dari sisa embun terakhir yang sanggup bertahan. Inilah tangisan kemarau. Meraung-raung di pemakaman hujan.
Angin mengering dipanggang matahari. Pergi kemanapun membawa pemantik api. Jangan sekali-kali menyinggung musim tentang harga diri. Mudah saja baginya menghanguskan hati. Sekaligus juga menyalakan sunyi.
Permukaan langit sehalus kaca. Tanpa bercak tanpa onak. Bercerminlah di sana. Kau akan menemukan wajah-wajah tamak mencurangi cuaca.
Itu adalah pantulan dari orang-orang yang mampu membuat bumi menjadi beku. Dengan menghabisi hutan, mencukur perbukitan, memanasi kutub, menyampahi laut. Atas nama almanak peradaban.
Permukaan samudera seolah bianglala. Warna-warni dari botol dan kantong plastik dipajang di puncak gelombangnya. Seolah berlangsung sebuah pameran. Katanya ini adalah kemajuan.
Cuaca merintih meminta mati. Kelelahan. Tak sanggup memutar dingin dan panas secara beraturan. Tubuhnya koyak moyak tak karuan. Tertatih-tatih mohon pengampunan.
Bogor, 15 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H