Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi │Cuaca Merintih Meminta Mati

15 Juli 2018   07:29 Diperbarui: 15 Juli 2018   08:23 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Pucuk cemara meneteskan airmata. Dari sisa embun terakhir yang sanggup bertahan. Inilah tangisan kemarau. Meraung-raung di pemakaman hujan.

Angin mengering dipanggang matahari. Pergi kemanapun membawa pemantik api. Jangan sekali-kali menyinggung musim tentang harga diri. Mudah saja baginya menghanguskan hati. Sekaligus juga menyalakan sunyi.

Permukaan langit sehalus kaca. Tanpa bercak tanpa onak. Bercerminlah di sana. Kau akan menemukan wajah-wajah tamak mencurangi cuaca.

Itu adalah pantulan dari orang-orang yang mampu membuat bumi menjadi beku. Dengan menghabisi hutan, mencukur perbukitan, memanasi kutub, menyampahi laut. Atas nama almanak peradaban.

Permukaan samudera seolah bianglala. Warna-warni dari botol dan kantong plastik dipajang di puncak gelombangnya. Seolah berlangsung sebuah pameran. Katanya ini adalah kemajuan.

Cuaca merintih meminta mati.  Kelelahan. Tak sanggup memutar dingin dan panas secara beraturan. Tubuhnya koyak moyak tak karuan. Tertatih-tatih mohon pengampunan.

Bogor, 15 Juli 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun