Perempuan itu memindai cahaya matahari yang jatuh di halaman rumah. Â Mengumpulkan semua di kornea mata lalu mengalirkan panas yang ada menuju ruang dada. Â Dia memang berniat meminang amarah pagi ini. Â Bahkan jika perlu menjadikannya kekasih hati.
Bukan tanpa alasan. Â Perempuan itu merasa sudah terlalu lama disunting kebekuan. Â Jiwanya sedingin tatapan hiu. Â Hatinya sebeku gulungan salju. Â Dia enggan untuk tunduk lagi terhadap waktu. Â Waktulah yang selama ini mengurungnya dalam tempurung. Â Sampai-sampai dia begitu sempurna dalam memasang wajah murung.
Perempuan itu lupa kapan terakhir kali meluapkan air bah. Â Dia hanya teringat bahwa nyaris seluruh hidupnya diserahkan pada pasrah. Â Dia adalah pecinta pura-pura yang hebat. Â Menyayat pergelangan sendiri demi orang lain melihatnya sebagai perempuan bermartabat.
Sudah tiba masa meminang amarah. Â Menaikkannya ke pelaminan yang ditunggui ribuan lebah. Â Bukan waktunya lagi bermain sandiwara dengan peran sebagai bunga. Â Kini saatnya meniru Rahwana. Â Mencinta dengan sesungguhnya tapi bukan lagi sebagai sahaya.
Bogor, 13 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H