Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepucuk Surat dari Bianglala

13 Juli 2018   17:36 Diperbarui: 13 Juli 2018   17:40 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awan memandangi jeruji besi di depannya dengan masgul.  Ingin rasanya dia berubah menjadi cairan asam.  Melelehkan anyaman besi bulat ini secepat dia meludah. Kemudian mengendap-endap di belakang penjaga yang sedang terkantuk-kantuk itu, memilin lehernya, mematahkan tengkuknya, mengambil senjatanya, lalu menembaki siapa saja yang menghalanginya melarikan diri dari penjara terkutuk ini!

Penjahat kaliber besar yang telah malang melintang di dunia hitam ini menghela nafas panjang.  Menghitung coretan kasar paku di dinding; X.  Ya, sudah sepuluh tahun dia mendekam di tempat laknat ini.  Sepuluh tahun dari seluruh sisa umurnya nanti.  Entah sampai coretan ke berapa dia akan berada di sini.  Sudah tentu coretan kesekian sampai dia mati. Huh!

Hukuman seumur hidup ini tidak membuatnya putus asa.  Vonis hakim sepuluh tahun lalu tidak membuatnya menyesal.  Menghabiskan sisa hidup dalam kerangkeng tidak akan merubahnya menjadi alim dan bertobat.

Hanya saja, sepucuk surat yang datang diantarkan sipir 2 hari lalu menyeretnya dalam situasi patah hati.  Teramat sangat.  Dia yang tak pernah merindukan dan dirindukan siapapun merasakan rasa itu tanpa bisa dicegah.  Sepucuk surat yang merubah segalanya.  Membuat keinginannya untuk berjumpa si pembuat rindu rasanya tak tertahankan. 

Panggilanku Bianglala.  Nama lengkapku Rinai Bianglala Putri Awan.  Menurut cerita nenek, aku adalah putrimu.  Nenek mau bercerita dengan jujur siapa ayahku setelah ibu meninggal dunia seminggu lalu.  Ibu tak pernah mau bercerita siapa ayahku.  Kalau aku bertanya, Ibu selalu menjawab ayahku adalah Hujan.  Selama ini aku menganggap Hujan itu memang nama ayahku.  Aku baru sadar sekarang setelah nenek bercerita tentang ayah.

Namaku ada Bianglala-nya.  Bianglala adalah perpaduan antara Hujan dan Cahaya Matahari.  Ibuku bernama Mentari, ayahku bernama Awan.  Awan tentu saja akan selalu menurunkan hujan.  Pantas saja aku dinamai Bianglala.  Pantas juga ibuku selalu menyebut nama ayahku Hujan.  Oh ya, nama lengkapku sebenarnya adalah Rinai Bianglala.  Aku menambahkan Putri Awan karena aku ingin mengakuimu sebagai ayahku.  Tapi cukup sampai di situ.

 Sejak lama aku memang merindukan seorang ayah.  Tapi aku tidak bisa bilang bahwa aku merindukanmu Awan.  Aku tidak mengenalmu semenjak aku dilahirkan.  Begitu juga dirimu tidak mengenalku.  Bahkan mungkin kamu tidak tahu kalau aku ada karena dirimu.  Aku sengaja menyebutmu dengan kamu.  Aku tidak mau berbasa basi dengan menyebutmu ayah saat ini.

 Sampai di sini dulu perkenalanku denganmu Awan.  Aku akan menulis surat untukmu tiap minggu kalau aku sedang merindukan sosok ayah.  Tapi ingat, hanya sosok ayah.  Bukan sosok Awan yang tidak kukenal.

 PS.  Ini fotoku paling terkini.

 Rinai Bianglala Putri Awan

Isi surat yang begitu lugas itulah yang memancing penjahat kelas kakap itu meneteskan airmata untuk pertama kalinya.  Tetesan kedua dan berikutnya mengalir begitu saja ketika Awan memperhatikan foto seorang gadis mungil di atas kursi roda sedang tersenyum datar ke arah depan.  Senyum pedih yang tak bisa disembunyikan.  Dan mata itu, itu matanya, gelap tanpa cahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun