Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi │Empat Cerita tentang Embun

10 Juli 2018   13:28 Diperbarui: 10 Juli 2018   13:50 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: yandex.com

1)

Dilahirkan tergesa-gesa oleh pagi ketika kabut mulai leleh bermatian.  Kehidupan setelah kematian berlaku di sini.  Hidupnya yang singkat dilalui dengan menjalari setiap permukaan daun.  Menciptakan sebuah ornamen mutiara di penampang halus berenda-renda.  Apabila orang memperhatikan dengan seksama;  di sinilah sesungguhnya letak filosofi cinta.  Selalu memulai hari dengan pancaran sejuk di mata

2)

Ketika sinar matahari masih selembut tangan bayi.  Embun belum mau pergi.  Inilah saat terbaik bagi mereka untuk memperlihatkan wajah berseri-seri.  Menampilkan pertunjukan opera tanpa suara.  Kepada dunia.  Lelakonnya sederhana; tunjukkan tulusnya keramahan maka tak akan ada yang namanya permusuhan dan peperangan.

3)

Di pertengahan usianya, orkestra dimainkan oleh burung-burung pengawal pagi.  Cicit merdu yang diaransemen secara sempurna tanpa harus berlatih setengah mati. Paduan musik klasik itu berlangsung mengiringi matahari menaiki tangga inchi demi inchi.  Saking kagumnya, embun yang tak punya pita suara pun sampai berdecak kagum. Decak yang diperdengarkan adalah saat satu persatu lelehannya menjatuhi tanah atau batu.  Memang pecah berhamburan, namun dibalut murninya kegembiraan.

4)

Tanpa disertai ritual maupun upacara, embun-embun itu dimakamkan di langit.  Membentuk kompleks pemakaman yang rumit.  Berupa gumpalan dan serpihan.  Awan-awan yang beterbangan.

Embun menghilang.  Tak sedikitpun minta dikenang.  Ada saatnya pergi.  Ada waktunya kembali.  Sebuah falsafah tentang kesetiaan yang telah teruji.  Dari embun yang bersumpah mengabdikan diri kepada pagi.

Jakarta, 10 Juli 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun