Pernah kita. Mendandani malam seolah boneka yang lucu. Lalu kita tertawa bersama. Mentertawakan rona gelap di pipinya. Itu seperti mendung hitam yang menggantung nyaris jatuh. Di langit yang berlagak patuh.
Setelahnya. Kita mengelap pagi seolah kaca. Lalu kita bercermin tepat di depannya. Pada embun yang bulat jernih. Terlihat kita berusaha tersenyum semanis kita bisa. Menghormati dimulainya hari dengan ketulusan hati.
Sesudahnya. Kita mengamini hari seolah hari hendak pergi. Menjauh dari kita. Mungkin  karena kita punya sedikit rencana. Melaluinya dengan tidak banyak bertanya. Sekedarnya saja.
Kemudian. Kita menajamkan ujung pendulum seolah sebentar lagi tumpul. Tak lagi menunjukkan ketepatan waktu. Tersangkut hanya di angka-angka yang disuka. Melewati yang lainnya. Seakan tak ada.
Berikutnya. Kita mencandai kematian. Mengatakan bahwa itu sekedar perpisahan. Bukan sebuah kehilangan. Lalu kita menyimpan airmata. Dalam wadah rahasia.
Pada akhirnya. Kita berpayung hujan di saat kepanasan membabi buta. Lalu menyeduh sinar matahari dalam segelas kopi. Kita bersama sedang berlari dari ketidakpastian cuaca. Menuju tempat berkumpulnya kehangatan cinta.
Bogor, 30 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H