Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kenangan yang Rusak

29 Juni 2018   12:57 Diperbarui: 29 Juni 2018   13:05 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ourplnt.com

Kita sedang membetulkan beberapa kenangan yang rusak di sebuah beranda yang pagar pembatasnya koyak. Kau mengambil palu hukuman atas ketidakterusterangan.  Aku menyodorkan paku yang sempat aku cabut dari dinding ketidakberdayaan. Dulu. Ketika gumpalan pasir basah memegang erat kakiku dan kakimu.  Mencegah kita bersama menuliskan judul puisi tentang waktu.

Kau ke kanan. Berlari menuju hujan. Aku ke kiri. Mencari jati diri sambil tak henti berusaha untuk harakiri. Kau mengumpulkan setiap remah hujan untuk kau kunyah mentah. Aku mengasah duri setajam aku bisa agar menyerupai belati. Aku dan kau menjauh seperti dua kaki yang berdekatan namun lumpuh.

Seumpama waktu itu kenangan kita bangun dengan cara yang jujur. Mungkin sekarang kita lebih beruntung karena saling bisa berterus terang bahwasanya penyesalan itu adalah semacam nasi yang ingin dimasak biasa namun ternyata menjadi bubur. 

Tapi kita kini menyadari bahwa kenangan yang rusak itu bisa diperbaiki. Selama meja dan kursi di beranda itu kita ganti. Bukan dengan yang lebih baik tapi lebih tepatnya sesuai apa yang kita sepakati.  

Kita hanya harus menguatkan hati. Karena rayap dan bubuk setiap saat bisa menjadi mimpi buruk. Menghancurkan kaki meja atau melapisi permukaannya dengan jelaga. Sehingga mencegah kita menjajarkan cawan dan pinggan di atasnya. Menghalangi kita mengadakan perjamuan tiap pagi.  Sambil memetik melati dan membahas tuntas semua mimpi yang kita alami.

Kita harus sekuat kaktus. Mengambil jiwanya yang mampu hidup di padang tandus. Kita meniru mereka. Tidak mesti persis sama. Tapi paling tidak tak perlu banyak mengeluarkan airmata. Ketika kenangan yang dibangun ulang harus terluka. Di sana sini.  Sebab semua itu wajar terjadi. Kita tinggal menjaganya sekuat tenaga. Jangan sampai luka itu membunuh hati.  Lalu kenangan yang rusak itu menjadi mati.

Jakarta, 29 Juni 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun