1) Semenjak kapan. Â Kau berlangganan airmata. Â Menangisi kepergian bulan. Â Dan mengiba pada duka yang melipat hatimu menjadi dua. Â Bukankah lebih baik jika kau menulis bulan yang pergi. Â Dengan puisi menarik hati. Â Dan menggembala setiap duka yang tiba. Â Dengan cara mengikatnya pada batang kemangi. Â Supaya wangi.Â
2) Kau tahu. Â Duka yang wangi akan terasa lezat. Â Airmata yang wangi akan serasa pesta. Â Jadi setiap saat kau akan bergembira. Â Menatap cermin dan berkata; jika duka memang harus berairmata, maka airmataku adalah tawa.
3) Sekarang kau sudah belajar tegar. Â Merapikan pagar di hatimu dengan tagar #dukaadalahtawa. Â Mudah bukan? Â Atau jikalau kau ingin lebih. Â Bagaimana mengurai segenap letih. Â Lihatlah bayanganmu saat siang. Â Dia tidak pernah mengeluh karena harus mengikutimu kemana-mana. Â Tanpa harus diupah. Â Semuanya cuma-cuma. Â Jadi untuk apa lelah karena berduka?
4) Lebih jauh lagi tentang duka. Â Itu adalah timbangan. Â Juga pasangan. Â Tak boleh salah satu berlebihan. Â Suka-duka, tangis-tawa, ceria-nestapa. Â Satu sama lain saling mengikat. Â Karena jika tidak, maka airmata bisa saja hanya punya makna air dari mata. Â Bukan simbol duka yang mengalir dari mata.
5) Terakhir. Â Jangan lagi berlangganan airmata. Â Percuma. Â Menangislah seperlunya. Â Terutama jika kau menjumpai keterasingan, kelaparan dan peperangan. Â Cukup itu saja. Â Sebagian besarnya gunakan untuk menangisi orangtua. Â Kapan kau bisa membahagiakan mereka. Â Atau memohon surga untuk mereka.
Bogor, 16 Juni 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI