Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kuntum Bunga yang Ditinggalkan Hujan

13 Juni 2018   21:59 Diperbarui: 13 Juni 2018   22:18 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sekuntum bunga di pelataran.  Sendirian.  Kesepian.  Mengeja kalimat setiap kali gerimis tiba.  Dengan bahasa bunga.  Tak berupa lirik atau prosa.  Begitu sederhana.  Terimakasih kekasih, begitu katanya.

Semua berawal karena rasa membutuhkan.  Bunga itu harus menyajikan nektar.  Dengan terlebih dahulu mekar.  Setelah sebelumnya tubuhnya disirami kabar.  Air hujan akan mendatanginya.  Memeluk tubuh bunganya.  Mencintainya.

Manis yang disimpan dalam kelopak berwarna ungu.  Teruntuk kumbang, lebah dan kupu-kupu.  Deretan pemburu yang dituntun waktu.  Terbang, datang, lalu menyebar ke segala penjuru.  Atas nama biji-biji semai yang membeku.

Ketika hujan ditelikung cuaca.  Tak jadi tiba atau sekedar tertunda.  Mengingkari musim yang dipenjarakan angin.  Karena anginnya dipasung dingin di bagian bumi lain.  Kuntum bunga akan jatuh tertelungkup.  Dalam bentuk kuncup.

Kisah tentang kuntum bunga yang ditinggalkan hujan.  Tak ubahnya kisah nelayan yang ditinggalkan lautan.  Atau petani yang diabaikan pematang.  Atau penjaja cerita yang kehilangan panggung pertunjukan.

Tak lebih tak kurang.  Semua terjadi karena jungkir baliknya zaman.

Bogor, 13 Juni 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun