Kau baru sadar bahwa itu adalah kehidupan, begitu terdengar tangisan pecah di dinding dan langit-langit kamar. Â Tangisan pertama seorang manusia menyapa dunia.
Kau baru paham manakala itu kematian, begitu kau teringat Tuhan di ujung nafasmu yang mulai tertahan. Â Mengiringi detak jantungmu yang memelan dan kemudian melenyap tanpa bisa ditahan.
Kau baru tahu bila itu adalah kekacauan, ketika kau menjumpai tatanan ditabrakkan pada kekeliruan. Â Menempatkanmu berhadapan dengan ngarai dalam di hadapan dan auman mengancam di belakang.
Kau baru mengerti jika itu adalah kesunyian, waktu kau memandangi jarum jam yang bergerak tetap namun nampak menetap. Â Sementara kau berdiri di tengah-tengah badai gelap. Â Manusia-manusia berkerumun di sekitarmu sambil menadahkan tangan. Â Menunggu hujan.
Banyak hal yang baru dipahami justru saat pikiran dihadapkan pada terbaliknya kenyataan. Â Cahaya kepada gelap yang membuatnya disebut terang. Â Langit kepada bumi yang menempatkannya selalu di atas. Â Cinta kepada sepi yang membuatnya selalu dikenang hingga mati.
Begitu juga, kata kepada puisi yang membuat huruf-hurufnya menjadi begitu berarti.
Bogor, 10 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H