Akhirnya dia berhenti khawatir tentang hujan. Â Air sumurnya belum mengering. Â Besok dia akan menimbanya untuk mandi. Â Rusuh dan debu di tubuhnya sangat mengganggu. Â Beberapa hari belakangan ini jalanan mengepulkan asap berlebihan.Â
Dia membuka jendela agar hawa segar masuk leluasa. Â Mempersilahkan segala macam wewangian berkumpul dan memanjat dinding kamar. Â Menjadi semacam lukisan. Â Berdampingan dengan jam yang tergantung miring. Â Juga bekas lelehan air hujan yang mengering.Â
Ditatanya meja di dapur dengan teratur. Â Sebuah perjamuan sedang disiapkan. Â Bukan untuk siapa-siapa. Â Namun sebagai bukti bahwa hidangan itu selalu ada.
Dia itu seorang perempuan. Â Memakai selendang yang dicetak dari daun-daun yang luruh.Â
Dia itu seorang lelaki. Â Mengenakan syal yang melilitkan keberanian utuh.
Dia itu mereka. Â Para manusia yang masih menganggap pagi ada karena senja belum juga tiba. Â Menghargainya dari kedalaman hati hingga kepundan kepala.Â
Dia itu siapa saja. Â Siapa-siapa yang berusaha keras berikrar tentang kilat yang menggelegar. Â Adalah pertanda hujan akan turun dengan akbar.
Jakarta, 1 Juni 2018