Secepat itu embun terjatuh. Berserakan bersama dedaunan yang luruh. Membasahi tanah yang lelah. Setelah berhari-hari dibakar matahari. Tanpa gerimis menghadiri.
Pagi yang tabah. Setabah penyu hijau yang menghabiskan seperempat hidupnya. Mengarungi samudera menuju tanah nenek moyangnya. Di pesisir dulu mereka dilahirkan. Â Di bawah timbunan pasir tempat cangkangnya disembunyikan.
Angin diam tak bergerak. Terpaku membisu. Juga lelah. Setelah beberapa waktu dicecar bertubi-tubi permintaan. Agar setiap saat siap mendinginkan. Hati yang mudah terbakar di bumi yang makin panas.
Keheningan yang begitu dalam memaksaku diam. Di setiap pagi yang aku temui. Selalu saja ada rahasia yang tersembunyi. Tak tertangkap mata. Namun jelas terasa di hati.
Pagi adalah makanan pembuka yang menggiurkan. Disajikan panas-panas. Di meja perjamuan matahari yang meranggas. Menikmatinya dengan cara sederhana. Biarkan hati sehangat cahaya.
Bogor, 30 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H