Mengusap wajahnya sesekali. Memastikan pandangannya tidak tertutup genangan. Dari matanya yang mendanaukan sepi. Nampak sekali betapa hidup ternyata berdiri di tengah-tengah antara air dan api.
Hujan semakin deras. Mengalirkan sungai-sungai berjeram di pipinya yang pias. Sedikit senyum terlepas. Dari ujung mulutnya yang seputih kapas.
Seseorang itu menegakkan tubuh dari dorongan angin yang terhuyung-huyung. Perpaduan yang khas bagi sebuah fragmen yang murung. Hujan basah dan angin tak tentu arah.Â
Mungkin orang itu sedang patah hati. Atau barangkali hanya ingin sekedar membasuh sunyi. Tidak ada yang tahu sebelum akhirnya kilatan lampu memantulkan matanya yang bersembilu.
Sebab ini malam. Silhuet seseorang yang sedang berdiri di bawah hujan itu terlihat kelam. Menampilkan sosok yang seolah hendak merajam hitam.
Menjadikannya berkeping-keping. Serakannya akan mengering. Dijemurnya nanti pada saat kemarau menyemburkan api. Disusunnya kembali bersama teka-teki yang didapatnya dari mimpi.
Jakarta, 23 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H