Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Mimpi yang Tersumbat

28 April 2018   23:49 Diperbarui: 29 April 2018   00:03 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mimpi mengalir dengan lambat.  Tersumbat.  Sepertinya malam sedang berkesumat.  Terhadap rindu yang disebutnya benda berkarat.  Bahkan lamat-lamat malam juga membisikkan kata keparat.

Entah kepada siapa.  Tak mungkin kepada bulan yang sedang memahat janji terhadap angkasa.  Membagi cahaya semampunya.  Supaya tak ada yang lupa.  Malam itu bukan berisi kegelapan semata.

Tak mungkin juga kepada dinihari.  Dinihari adalah saat terbaik bagi malam untuk bercerita tentang sebaik-baiknya sunyi.  Membasuh diri.  Mengumpulkan kembali ceceran remah-remah hati.  Setelah seharian mengudap caci dan menelan balik muntahan maki.

Tak mungkin pula kepada pagi.  Pagi selalu memberikan pelukan sepenuh hati.  Melalui embun, burung, dan semburat hangat matahari.  Tentu saja pagi tak pernah pilih kasih untuk menunjukkan bagaimana cara sebenarnya mencintai.

Lalu kepada siapa malam merindu.  Tersayat-sayat patahan sembilu.  Kemudian memutuskan tali mimpi satu persatu.  Sehingga terjerembab kelu.  Di malam yang mengharu biru.

Sampit, 28 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun