Butiran padi menunduk menatap sungai kecil yang memberinya minum saat masih janin. Surai daunnya melambai ke arah pematang. Berkata-kata secukupnya; terimakasih telah menjagaku selama ini. Kau adalah bentengku menahan reruntuhan remah-remah tanah berapi.
Sebatang pohon jati. Sendirian. Di ujung pematang. Mengangguk ramah kepada setiap pendatang. Ujung daunnya yang lebar masih menyimpan memori ketika Merapi memuntahkan kelu. Dahulu. Waktu pulau Jawa miring ke kanan dengan ragu. Lelah menyangga kaki dan hati. Berlari dan terantuk sudut mimpi.
Di bawah atap langit gunung Merapi. Masih tersisa bekas laluannya yang sekarang berkerak abu. Mengubur dan mengingatkan; jangan sekali-kali melumpuhkan peduli. Itu adalah bekal kelak perjalanan tak bertepi.
Langitnya secerah warna merpati. Ada kapas tersangkut di paruhnya yang serupa kepundan. Mengepulkan asap tipis. Seperti asap perapian saat musim dingin menerjang garang.
Melihat kegagahan yang sedang diam. Tepat di tengah-tengah pulau yang tak bisa berdiam. Adalah melihat Merapi sudah perjaka lagi. Menanti seorang perawan turun dari tangga pelangi. Berkemben warna warni. Itulah saatnya meminang kembali dengan gemuruh tak henti-henti.
Sampit, 28 April 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI