Cemaranya berdiam seperti arca. Tak tersentuh angin. Memang tidak ingin. Maunya sederhana. Menikmati pelukan matahari. Sampai sirip-sirip daunnya menegak kembali. Dinginnya malam selalu saja menyuruhnya tertunduk. Hingga buku-buku rantingnya tertekuk takluk.
Entah apa alasannya. Setiap kali terjaga dan pagi mengikutinya, cemara itu merasa hidup lagi. Â Seolah nyawa selanjutnya tiba. Menggantikan nyawa sebelumnya yang disebut daun-daun menua.
Kisah ini dituliskan oleh rumput-rumput yang mulai meninggi. Cemara itu tumbuh di antaranya. Berdampingan dengan rumpun bambu yang buluh-buluhnya tak lagi merindu. Lebih banyak membisu oleh sebab-sebab tak menentu.Â
Kisah ini diceritakan kembali oleh bukit yang sepertinya sakit. Â Cemara itu menempati punggungnya seperti sedang menunggangi kuda. Untuk sekian lama. Membuat keringatnya mengucur deras begitu hujan ditumpahkan langit. Menggerus gumpalan dan remah tanah di pinggangnya yang lelah.
Cemara dan pagi bukanlah sepasang kekasih yang memutuskan patah hati. Terhadap pilihan-pilihan hidup yang seringkali menyakiti. Keduanya justru terpilih untuk terus mencintai. Cemara terhadap embun yang dengan penuh kasih menyusuinya. Dan pagi terhadap waktu yang selalu menyediakan dirinya selalu ada.
Bogor, 21 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H