Huruf demi huruf dirangkai menjadi kalimat yang berkisah tentang pena dan kebodohan. Lalu diseberangkan melalui lautan. Sampai di meja para penyuka budak;
Tuan, kalian adalah penguasa negeri untuk saat ini. Itu bukan karena kalian lebih pintar dari kami. Namun karena kami tak punya kesempatan untuk mengenal sepintar apa diri kami.
Kalimat demi kalimat dirawat. Seperti bayi yang baru lahir. Disusui dengan peringatan akan tegaknya sebuah pendirian. Sebuah bangsa yang tertinggal karena sengaja dibuat dungu. Â Agar tidak tahu bahwa merdeka itu bukanlah tabu;
Tuan, negeri kami adalah negeri matahari. Akan tiba masa kami tersengat panasnya. Dan tuan-tuan akan merasakan rasa terbakarnya.
Surat demi surat mengalir seperti sungai. Tak bisa berhenti karena mata airnya justru meluap-luap. Menghanyutkan dinding tipis berlabirin yang diciptakan khusus untuk bangsa terjajah;
Tuan jangan salah mengira. Bangsa kami dilahirkan oleh mimpi-mimpi besar. Jangan heran jika kami nanti menguapkan air- air mendidih. Kami bergolak dan tuan melepuh sejadi-jadinya.
Surat demi surat dibukukan. Simbol perlawanan. Dari perempuan berjanin lilin. Membakar dirinya dengan lelehan semangat tak habis-habis. Menerbitkan terang setelah gelap habis terkikis.
Bogor, 21 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H