Dengan langit,
Agar bisa memandangi bumi seluas-luasnya. Â Menyelidiki di bagian mana tanahnya nyaris mati. Â Terbakar atau berpenyakitan. Â Supaya bisa tepat dimana harus mengirimkan hujan. Â Sehingga tak sia-sia airnya bukan cuma jadi kubangan.
Dengan lautan,
Agar bisa menyaksikan lompatan ikan pari. Â Invasi jutaan mackarel. Â Dan serbuan paus bungkuk. Â Di permukaannya yang setenang kaca atau dikacau badai. Â Sungguh penting memastikan gelombang itu tidak bergumpal oleh tumpahan minyak. Â Laut tidak untuk dinyalakan. Â Biarkan pada kodratnya memadamkan.
Dengan sungai, danau dan kali,
Agar bisa melihat tebing menggugurkan kepingan kerikil. Â Menikung di jeram yang bisa membalikkan rasa ingin tahu. Â Terselip di batu-batu.Â
Juga memandang hamparan gurun air. Â Tanpa gelombang. Â Tempat beranak pinaknya ketenangan. Â Di tempat ini, rusuh adalah kata terakhir untuk menggambarkan.
Sekaligus menyadap suara gemericik kecil. Â Menyelinap di antara semak. Â Lalu muncul lagi di ujung pematang. Â Ditunggu para petani dengan mata penuh kesungguhan.
Jangan sampai jernih dan bening itu menjadi sejarah. Â Ketika lumpur dialirkan paksa sebagai air bah.
Dengan gunung-gunung,
Agar menjadi saksi betapa murung adalah keputusan yang salah. Â Di sana yang ada hanya indah. Â Kabut memandikan lembah. Â Sementara ngarai menganga adalah tempat segala lelah tumpah.