Aku belajar berkata tak mau dari batu yang bersikukuh tak mau tergelincir dari tepian sungai dengan arus sekencang airmata setelah pesta kematian. Aku katakan tak mau menyudahi sebuah perjuangan yang dimulakan dengan kesungguhan.
Aku belajar berkata iya dari pucuk cemara yang diterobos terpaan angin di sebuah bukit kecil yang puncaknya menggigil karena kabut. Â Silahkan kataku kepada awan yang menantangku untuk bertahan dari ribuan titik hujan yang menumpahi atap rumahku yang tersusun dari jalinan rumbia.
Aku belajar berkata sudahlah dari tanah-tanah retak yang dipalu matahari saat kemarau menyatakan diri sebagai satu-satunya musim. Â Sudahlah ujarku kepada kereta yang berjalan melambat karena seekor kucing melintas lewat. Â Itu memang sudah menjadi kebiasaan di kepala setiap orang tentang tabu dan menghindari pamali.
Aku belajar berkata cinta darimu yang menyayangi melati seolah itu adalah melati terakhir di dunia. Â Aku sampaikan cinta kepadamu dengan kekuatan sepenuhnya seolah itu adalah kata pertama di dunia yang aku bisa.
Bogor, 8 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H