Begini. Â Aku mencoba untuk membuatmu mengerti. Â Langit yang sekarang menggelap adalah cerminan dari hatimu yang memekat. Â Begitu langit itu menurunkan hujan, maka hatimu akan sedikit ringan. Â Pecahan-pecahannya kemudian menjadi gerimis. Â Bersama cahaya, kau akhirnya melahirkan bianglala.
Aku memandangi bianglala itu. Â Sedikit terpesona, sedikit menghujat. Â Cantik tapi menipu. Â Katanya ada bidadari turun di ujungnya. Sedangkan ujungnya saja tak pernah bisa ditemukan. Â Bukankah itu pembohongan?
Serpihan kenangan ikut berjatuhan bersama hujan. Â Meluber di genangan. Â Berenang bersama anak-anak ikan. Â Untunglah tidak dimakan. Â Karena memakan kenangan sama saja dengan memuntahkan masa lalu.
Ada petir menyambar di sudut yang tidak diketahui. Â Suaranya bergemuruh seperti mesin kapal yang aus. Â Tapi lebih indah. Â Dan juga jauh lebih perkasa.
Sore ini nampaknya tak bisa disangkal bahwa hujan akan lama berhenti. Â Mendung itu begitu hitam. Â Sehitam malam ketika bulan dan bintangnya dicat kelam.Â
Aku memberanikan diri tetap duduk di teras. Â Mengaduk air dan api ke dalam kopi. Â Meskipun hujan ternyata begitu deras dan menghadirkan tempias.Â
Bogor, 7 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H