Aku. Â Bersekutu dengan waktu. Â Menempati angka satu sebagai permulaan bagiku. Â Mengumpulkan setiap debu. Â Membersihkannya dengan seksama. Â Debu-debu ini bukan durjana.Â
Waktu. Â Bersekutu dengan lima waktu. Â Meluruhkan detak jarumnya dengan sebuah ketetapan. Â Bagi orang-orang yang menepati lima perjalanan.
Pukul empat pagi. Â Bersama embun yang masih bayi. Â Menengok kejora masih ada di tempatnya. Â Memberi petunjuk arah timur itu kemana. Â Menghadaplah pada kebalikannya.
Pukul duabelas tengah hari. Â Bersama terik yang menggantang hati. Â Melihat bayangan menyatu sepenuhnya dengan badan. Â Mengingatkan nanti tentang keruntuhan zaman.Â
Pukul tiga sore hari. Â Bersama peluh yang melelehi hiasan dasi. Â Menetes kencang laksana sirine peringatan akan perang. Â Perang terhadap kemalasan dan diam.
Pukul enam petang. Â Bersama kerusuhan yang dihadirkan oleh stasiun, terminal dan pelabuhan. Â Mendengarkan suara adzan mengalun setenang anak kecil yang tertidur di ayunan.Â
Pukul tujuh malam. Â Bersama gelap yang datang berduyun-duyun. Â Menutupi penglihatan namun membukakan kesadaran. Â Sampai dimana sebetulnya hati diletakkan.
Waktu. Â Berhak membolak balik keinginan. Â Untuk mengingat kembali satu hal pasti yang tak boleh dilupakan.
Jakarta, 6 April 2018