Mengiris nadi orang-orang lemah. Â Tidak mengeluarkan darah. Â Sebab semua darahnya naik ke atas kepala. Â Menahan amarah.
Betapa tajamnya sebuah puisi. Â Beberapa kalimat mematikan kepercayaan. Â Terhadap penyair yang berusaha membacakan sihir. Â Di zaman yang menganggap bibir adalah segalanya.
Negeri ini bukan negeri para pencaci. Â Bahkan pernah disebut sebagai negeri para pembaik hati. Â Tapi karena tajamnya sebuah puisi. Â Orang-orang mulai yakin akan bilah lidah dibanding belati.
Negeri ini tidak didirikan untuk menjadi sekecil kurcaci. Â Para pendirinya adalah kumpulan orang perkasa. Â Tentu ingin negaranya sebesar raksasa. Â Dulu pendirinya juga berpuisi. Â Bait-bait kutukan terhadap penjajah, membuat orang-orang mengantri; ini nyawaku tolong masukkan daftar isi.
Agamaku adalah puisiku. Â Aku tidak menulisnya. Â Aku membaca dan meyakininya. Â Menjaganya dari segala ihwal busuknya kata dan prasangka.
Jika puisimu bukan agamamu. Â Jangan lumuri bait-baitnya dengan bisa. Â Itu namanya meracuni udara. Â Bukankah udara ini kita pakai bersama?Â
Di negeri yang didirikan oleh puisi, darah dan hati. Â Jangan sebarkan aroma tidak sedap yang dapat membubarkan kerukunan. Â Demi sebuah ketenaran yang panjangnya tak lebih dari sejengkal tangan.
Jakarta, 3 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H