Di kota yang dibangun dari reruntuhan badai. Â Seekor merpati terbang serendah mungkin. Â Mengabadikan setiap jengkal yang porak poranda. Â Sebagai catatannya nanti saat bersaksi mata.
Di kota itulah dulu dia membuat janji. Â Mengumpulkan setiap surat yang hendak dikirimkan para pecinta. Â Kepada kekasihnya yang terpisah dinding tinggi. Â Atau lautan sejauh ujung pelangi.
Namun, ada satu hal yang dipahaminya baik-baik. Â Janji yang dililitkan di kakinya. Â Diterbangkan dengan cinta. Â Sepenuh-penuhnya romantika. Â Adalah kisah cinta yang sesungguhnya.
Kepada seorang gadis yang duduk di loteng. Â Sembari berharap sangat kiriman datang dari langit. Â Dari seorang jejaka yang terjebak di dunia asing. Â Namun selalu ingat untuk berkirim ciuman di kening.
Merpati pengantar janji hinggap di sarangnya yang berjeruji. Â Terpenjara pada masa lalu. Â Kenangannya terhadap waktu. Â Hanyalah sejarah kuat yang dipaku.
Di bagian mana merpati itu tidak mengerti. Â Sudah lama zaman menggantikan perannya. Â Dengan tombol kecil yang disebut keajaiban pesan. Â Satu kedipan. Â Sama dengan ribuan kepak sayapnya yang kelelahan.
Jakarta, 3 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H