Malam kekenyangan setelah dipersilahkan mengudap kegelapan. Â Aku terbaring di sini. Â Di antara rasa sepi dan hati mati. Â Kau pergi mengejar bayangan. Â Sedangkan aku memecahkan cermin agar tak perlu berkaca.
Aku tak suka bayangan yang suka mencibirku sebagai lelaki peniru alang-alang. Â Tak runtuh dan tetap tumbuh di kekeringan yang mencekam. Â Aku selalu dilecehkannya sebagai lelaki pencemburu terhadap waktu. Â Melesakkan batu bata yang mendekap jam dinding kelamaan.
Ini terakhir kali aku meratap. Â Menundukkan wajah pada lebah yang lewat. Â Aku tak punya sengat. Â Memalingkan muka pada surai kuda yang berkibar. Â Aku hanyalah penyombong barbar.
Aku tak mau meratap lagi. Â Sudah saatnya aku menabrakkan keberanian pada ketakutan. Â Tiba masanya aku meledakkan kegembiraan di kerumunan kesengsaraan.
Sampit, 25 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H