Tujuh judul puisi. Â Tanpa rima, tanpa bait, tanpa kata. Â Aku lempar keluar jendela. Â Yang pertama tersangkut di kaca. Â Mengembun jadi kalimat; Â pagiku berserakan.
Judul berikutnya menancap di duri mawar. Â Meneteskan getah serupa ludah. Â Menggumpalkan tanah berbisa. Â Menghimpun diri dalam kata-kata; aku racun setiap lupa.
Judul ketiga lenyap dicuri serangga. Â Dikunyah dengan cepat. Â Dicerna tergesa-gesa. Â Dibuang dalam bentuk kotoran. Â Menyampah tapi menyuburkan; inilah bentuk sesungguhnya cinta.
Judul selanjutnya dihanyutkan selokan. Â Menyusur gorong-gorong. Â Gelap tanpa lampu. Â Tersangkut sampah melimpah ruah. Â Membusuk cepat jadi cerita; berita buruk dari air yang terlupakan.
Judul kelima terinjak-injak. Â Di tanah becek bekas hujan lebat. Â Berenang dalam genangan. Â Bersama ribuan jentik calon pemangsa. Â Menguarkan kegelisahan yang terbata-bata; kau lalaikan kenangan dengan sengaja.
Yang keenam terhambur dalam kolam. Â Disantap ikan-ikan. Â Membuat sisiknya berkilauan. Â Merenangi nasib yang ingin dirubah. Â Menjadi lebah pemburu rasa manis. Â Mengeluarkan ujar-ujar yang juga manis; merubah takdir seperkasa elang jawa.
Judul terakhir tak jadi dibuang. Â Disimpan dalam gelas kaca. Â Diaduk bersama kopi Toraja. Â Tanpa gula. Â Disesap bersama sang kekasih. Â Hingga tetesan terakhir sambil berucap; ini terakhir kali aku meratap.
Jakarta, 23 Maret 2018