Pagi, sepotong roti dihidangkan di meja perjamuan yang dilengkapi dengan percakapan tentang mimpi tak berapi. Â Tak mengenyangkan. Â Tapi cukuplah untuk menunggu sampai nanti datang hujan.
Melati, tumbuh di halaman yang dipadati oleh duri-duri. Â Tak bisa dipetik. Â Namun wanginya bisa ditelisik. Â Menguar ke mana arah angin berputar. Â Mencabar rahasia bagaimana wanginya sampai bisa menghapus luka yang lama bercadar.
Matahari, terlahir tanpa akhir dan menua tanpa usia. Â Menebar hangat sedari dini hingga ketika senja menawarkan biji saga. Â Itu pertanda tuntasnya kembara cahaya di hari yang sama.
Apabila pagi menyapa dengan bahasa yang dikumpulkan dari bibir orang-orang yang tak hendak berdusta, sapalah kembali dengan kalimat kidmat yang didapat dari mulut para pecinta.
Apabila melati menawarkan wanginya untuk ditukar dengan syair-syair yang digubah menjadi tembang pembuka kenangan, nyanyikan sepenuh rasa seperti ketenangan air telaga.
Apabila matahari melemparkan cerita kecil tentang cahaya, sambutlah dengan pelukan yang lebih hangat dari perapian.
Apabila pagi, melati dan matahari dikumpulkan dalam satu ruangan. Â Maka akan diterbitkan sebuah kisah tentang hati yang dihangatkan oleh wangi tak berkesudahan.
Jakarta, 13 Maret 2018Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H