Kau meletakkan kepalamu di bahuku. Â Kau bilang ingin menyandarkan letihnya masa lalu. Â Katamu ini terlalu berat. Â Kataku itu karena kau lupa terhadap ingat.
Setelah sempat bergumam dengan kata-kata yang tak mau kau sudahi. Â Kau meraut angin di depanmu dengan cibiran. Â Kau bilang angin itu tak lebih dari tiupan udara binal. Â Aku bilang kau keterlaluan, tak sadarkah kau bahwa tiupan itulah yang mempermainkan rambutmu sampai menampar mukaku hingga aku merasa inilah keindahan yang janggal.
Kau berdiri melepaskan diri. Â Ada sesuatu yang kau pikirkan dengan dalam. Â Ujarmu pelan, petang ini sungguh tak mau memihak. Â Pada sepotong hati yang terlunta-lunta lalu mengembara. Â Ujarku tak kalah pelan, itu karena kau lebih memilih penjara daripada pergi ke surga atau neraka.
Kau seolah hendak memaki. Â Kata-kata berbisa hampir meluncur keluar dari bibirmu yang mengerucut. Â Tapi kau berhenti. Â Malah mendekatiku lagi. Â Berbisik, kau bedebah tak berhati. Â Aku balas berbisik, aku begini setelah cintaku kau adili dalam peti mati.
Kau nyaris berteriak. Â Suaramu bergetar. Â Serasa menggelegar dan membuat telinga semesta pengar. Â Aku tak gentar. Â Aku meraihmu dalam pelukan samar. Â Aku adalah lebah yang kau biarkan terlantar.
Jakarta, 23 Februari 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI