Ada tujuh alasan kenapa aku mencintaimu. Â Diawali saat kau mendidihkan pesisir dengan tatapanmu yang segarang berang-berang kelaparan. Â Kepada laut yang diam. Â Juga kepadaku yang hanya memusatkan pikiran pada sajak ikan yang tenggelam.
Lalu kau meramu sepi dengan ucapanmu waktu itu; buatlah puisi tentang sunyi. Â Aku ingin berdiri di pinggiran mimpi. Â Ramai itu terlalu melukai.
Ketiga, waktu kau membaca sajak yang aku tuliskan dengan terbata-bata. Â Dan matamu memancarkan cahaya. Â Melesat tanpa bisa dicegat. Â Aku seketika terjerembab. Â Bersiap menghadapi alasan keempat.
Selanjutnya kau menjadi bahan lamunan yang tak pernah bisa diperbincangkan. Â Hanya keratan angan-angan yang lama kelamaan merenta. Â Tanpa disengaja.
Alasan kelimanya cukup rumit. Â Kau menjadi patahan bumi yang menyempit. Â Menghimpit pikiranku yang serupa pulau kosong di tengah lautan. Â Sendirian. Â Kemudian berniat melakukan pemberontakan. Â Â
Keenam, Mendadak kau seterang purnama di malam yang membuta. Â Aku sampai harus menyipitkan mata. Â Memilih membanjirkan puluhan ribu kata. Â Menjajarkan buku-bukunya di rak yang terbuka.
Alasan terakhirku mencintai. Â Adalah do'a-do'a bagi mimpi yang selalu mengintai. Â Tidak boleh sama sekali ada prasasti tanpa tulisan. Â Tentang cinta yang terabaikan.
Jakarta, 21 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H