Saat senja baru keluar dari pertapaan. Â Perlihatkan muka sembab. Â Setelah bertangisan sebentar. Â Menangisi gerimis tak jadi datang. Â Inginnya melihat bianglala terpatahkan.
Begitu juga. Â Ketika suara gerobak menimpa kerikil dan batu. Â Seorang pemulung di kota besar. Â Mampir sebentar di mushola kecil. Â Membersihkan muka dan kaki yang kasar. Â Mencari kehalusan hati di Isya yang sepi.
Sama saja. Â Waktu seorang pembesar. Â Tak meminta rombongannya dikawal. Â Tak perlu sirine yang menyayat hati untuk membuka jalan. Â Kemacetan ini harus juga dilalui. Â Agar mengerti bagaimana cara mencintai.
Apalagi. Â Ketika seorang ibu. Â Mengelus bayinya yang kepanasan. Â Di atas bus kota yang berjejalan. Â Berharap tangannya adalah angin dingin. Â Supaya tertidur lelap buah hatinya sampai tujuan.
Semuanya menyentuh hati. Â Menggiring sunyi ke tempat sebenarnya. Â Jauh dari orang-orang yang berkilau hatinya.
Jakarta, 19 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H