Sekilas saja aku melihatmu. Â Sedang duduk di ujung pantai berbatu. Â Aku rasa kau sedang belajar berhitung. Â Seberapa banyak ombak itu setiap menit bergulung.Â
Entah mengapa aku menduga kau sedang menceritakan sesuatu kepada langit yang kebetulan berwarna jingga. Â Aku rasa itu sebuah cerita tentang hatimu yang memerlukan suaka. Â Kau dianggap pemberontak oleh rezim cinta yang berkuasa.
Aku sebenarnya bisa membantumu. Â Langitku di sini berwarna biru. Â Cukup katakan aku membutuhkanmu. Â Sekejap kemudian aku bisa merubah warna hatimu serupa dengan langitku.
Orang-orang bilang biru itu warna sendu. Â Mereka lupa seperti apa warna lautan jika sedang tak berbadai. Â Mereka tak ingat bagaimana bisa mereka melihat bintang jika langit sedang lalai.
Jika kau bersikukuh bahwa hijau adalah kesukaanmu nomor satu. Â Aku tidak akan membantahmu. Â Hijau adalah warna bumi yang sesungguhnya. Â Ketika belantara belum menemui banyak malapetaka.
Begini saja. Â Tuliskan janjimu di sehelai daun nangka. Â Hijaunya adalah hijau paling tua. Â Warna yang sanggup bertahan terhadap segala kesedihan cuaca. Â Artinya janjimu tak akan lagi dibatasi oleh senja.
Jakarta, 13 Februari 2018 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H