Lelaki itu menghunjamkan tatapan setajam pisau. Di hadapannya tergeletak pemandangan utuh yang membingungkan. Perlu tajam pisau itu untuk membelah agar bisa dipilah. Â Ini sebenarnya keindahan atau keresahan.
Sehamparan ilalang tinggi koyak akibat perburuan. Membentuk lorong-lorong tempat semua keinginan berlarian. Pemburunya adalah cita-cita. Yang diburu adalah kekuatan upaya.
Begitu api datang menghanguskan padang ilalang. Cita-citanya ingin menjadi bara. Memanasi hati agar terus menyala.Di suatu ketika air bah menggulung datang. Cita-citanya berubah menjadi belalang. Terbang menghindar di pucuk tajuk pepohonan.
Lelaki itu punya beberapa sumpah. Lalu membuang salah satunya di tempat sampah. Sumpahnya untuk tetap menjaga agar matanya tidak basah. Tidak diperlukan lagi. Dia tak mau berairmata atas nama mimpi. Dia justru hendak melukai putus asa agar tidak datang lagi.
Sumpahnya yang lain adalah sumpah cinta. Dilemparkan ke angkasa. Disambar oleh elang. Diletakkan hati-hati di dalam sarang. Sebuah filosofi cinta perkasa yang tak akan pernah hilang.
Jakarta, 8 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H