Belum pernah ada pagi seredup ini. Â Tipis menggaris langit seperti bibir cemberut seorang puteri yang kehilangan konde di malam sebelumnya. Â Padahal ada pesta yang harus dihadiri. Â Pesta seorang penyair yang ingin mensyiarkan puisi-puisinya yang pandir.
Pagi nampak sangat bersahaja. Â Berbela sungkawa terhadap sungai-sungai yang berhenti mengalir. Â Tersendat rumpukan sampah menggila. Â Plastik dan bekas lipstik membentuk bukit. Â Memberikan pemandangan yang sungguh membuat mata sakit.
Setiap hari pertaruhan terus terjadi. Â Melanjutkan hidup dengan menyakiti bumi. Â Atau mempahitkan hidup dengan menjaga bumi. Â Paradoksal yang menyiksa. Â Tentu saja.
Pertaruhan yang bukan main-main. Â Bumi menjadi sebuah meja judi. Â Tumpukan kartu dan dadu tentang mempercepat kematian berikut upah yang menggiurkan berserak di atasnya. Â Tinggal lempar dan buka, maka lubang di langit akan semakin menganga.
Gunung-gunung dingin yang menjulang bisa sangat kepanasan. Â Menumpahkan jutaan galon bagi air-air baru yang dilahirkan. Â Menambah lusuh muka lautan. Â Hingga merambah dan menjamah tempat-tempat yang semestinya kering. Â Tempat orang-orang bercocok tanam untuk sajian di piring.
Pagi yang nampak bersahaja kali ini. Â Bisa jadi adalah alarm yang dibunyikan semenjak dini. Â Hati-hati. Â Bumi bukan sekedar bulatan mati yang tak bisa membela diri.
Bogor, 4 Januari 2018