Fragmen hidup disajikan mentah-mentah. Â Seekor tupai terjatuh dari dahan yang patah. Tepat saat seekor lebah lewat dan sedang berdansa dengan lelah;
Aku tak mendugamu bisa terjatuh. Â Aku sempat berpikir bahwa ranting dan dahan adalah jari dan lenganmu. Â Menyatu dengan tubuhmu. Â Satu nyawa dengan kepalamu. Â Kini aku baru tahu. Â Ternyata sepandai-pandainya lompatanmu. Â Bisa juga kau terpelanting, terpeleset, bahkan menghantam batu-batu.
Panggung beralih ke perjalanan sang lebah. Â Menyepi ke pinggir kali. Â Banyak bunga Sagu sedang bermekaran. Â Menyiarkan satu keharuman. Â Dengan puluhan penawaran. Â Tapi tak ada tempat mulus untuk berlalu. Â Mesti menyelinap di antara pokok-pokok bambu. Â Sayapnya terjepit rapat. Â Memberontak untuk menerima kenyataan sayapnya patah. Â Rebah terguling di tanah. Â Disaksikan tupai yang berjalan terpincang resah;
Aku mendugamu akan terjatuh. Â Kau yang biasanya menyatu dengan angin. Â Malah lalai mengendalikan ingin. Â Jadilah kau tergolek tak berdaya. Di tempat yang seharusnya kau taburi dengan manis yang lebih dari gula.
Fragmen berakhir saat tirai panggung digulung menutup. Â Falsafah sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh jua. Â Mendapatkan tambahan peribahasa. Â Bukan namanya lebah jika sayapnya mematah, karena bunga yang manis tak ada yang jatuh ke tanah.
Jakarta, 30 Januari 2018