Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Episode Puisi dari Pojokan Jakarta (3)

27 Januari 2018   06:33 Diperbarui: 27 Januari 2018   08:26 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Udara merambat dengan lambat.  Mencengkeram bahu-bahu penat para pemikul beban di pelabuhan yang diramaikan pula oleh terjunnya burung camar pencari ikan.  Mencukil permukaan air dengan paruh terbuka.  Memamerkan seekor ikan segar menggelepar untuk menutupi rasa lapar.

Udara menambah kecepatan.  Tak tega melihat mata cekung yang memantulkan mendung.  Dari orang-orang yang memeras setiap tetes keringatnya agar hari ini tidak jadi berkabung.  Cukup beras untuk dipanasi di panci yang pantatnya menghitam bukan karena asap tungku dapur.  Namun karena terlalu sering dijemur dan diludahi oleh Jakarta saat berkumur polusi.

Udara berhenti.  Berniat menyusup ke dalam hati para pejuang pemberani yang dipanggang terik matahari.  Memompa jantungnya sekuat unta.  Mengalirkan aliran darahnya sehebat kuda.  Memberinya kekuatan badai.  Siapa tahu besok Jakarta kembali bersikap lalai.

Jakarta, 26 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun