Udara merambat dengan lambat. Â Mencengkeram bahu-bahu penat para pemikul beban di pelabuhan yang diramaikan pula oleh terjunnya burung camar pencari ikan. Â Mencukil permukaan air dengan paruh terbuka. Â Memamerkan seekor ikan segar menggelepar untuk menutupi rasa lapar.
Udara menambah kecepatan. Â Tak tega melihat mata cekung yang memantulkan mendung. Â Dari orang-orang yang memeras setiap tetes keringatnya agar hari ini tidak jadi berkabung. Â Cukup beras untuk dipanasi di panci yang pantatnya menghitam bukan karena asap tungku dapur. Â Namun karena terlalu sering dijemur dan diludahi oleh Jakarta saat berkumur polusi.
Udara berhenti. Â Berniat menyusup ke dalam hati para pejuang pemberani yang dipanggang terik matahari. Â Memompa jantungnya sekuat unta. Â Mengalirkan aliran darahnya sehebat kuda. Â Memberinya kekuatan badai. Â Siapa tahu besok Jakarta kembali bersikap lalai.
Jakarta, 26 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H