Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cerita tentang Kabut

27 Januari 2018   05:13 Diperbarui: 27 Januari 2018   08:20 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabut di hadapan turun perlahan menutupi permukaan.  Mendekap bumi dengan hati-hati.  Menyusui kering tanah dengan basah yang hangat.  Persis layaknya sikap seorang ibu mendekap si bayi yang sedang tertidur lelap.

Cahaya belum mampu menembus kepekatan.  Matahari masih memberi kesempatan.  Ini adalah keindahan yang langka.  Sebuah kasih dari  bayangan maya tanpa cela.  Memberi namun tak meminta.  Mengasihi tapi sama sekali tak hendak mencerca.

Sebentar lagi kabut itu akan menghilang tanpa rencana.  Mengikuti saja ketika panas membawanya ke udara.  Bergabung bersama putih atau hitam di atas sana.  Menggumpalkan kemauan untuk pulang.  Kembali ke pelukan pagi yang merasa kehilangan.

Sampit, 26 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun