Selamat malam cinta. Â Malam bagiku adalah awal dari cerita. Â Tidak ada cahaya bukan berarti hatiku tak terang. Â Aku bisa saja meminjam sinar matamu sebagai lampu. Â Menyoroti kertas yang aku tulis menggunakan tinta cumi-cumi. Â Hitamnya itu abadi.
Saat aku duduk memandangi daun bambu yang mengering. Â Di situlah aku mulai dihinggapi hening. Â Daunnya merana bukan karena cinta. Â Tapi karena akarnya terantuk batu-batu. Â Maklum saja ini Jakarta. Â Tak banyak tanah yang tersisa untuk akar menemui rongga.
Begitu pula air yang mudah saja tertipu. Â Beton yang menghitam dikiranya lautan. Â Jadilah pecahan hujan menjadi begitu lintang pukang berhamburan. Â Ke segala arah tak bisa menemukan lorong menuju bumi. Â Tumpahan lalu menjadi genangan. Â Genangan kemudian menjadi kubangan. Â Kubangan setelahnya menjadi lautan. Â Menelan rumah, manusia dan timbullah kericuhan.
Tapi jangan khawatir sayang. Â Bumi adalah ibu dari segala ibu yang penyayang. Â Tak akan lekang hanya karena hujan semalaman. Â Tak akan punah kecuali hanya jika telunjukNYA meradang, tenggelamkan!
Jakarta, 11 Oktober 2017