Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kemarau yang Tak Tuntas

21 Agustus 2017   19:56 Diperbarui: 21 Agustus 2017   20:36 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jika kau ingin tahu apa yang kumau saat ini.  Aku mau meraih suluran rotan. Memangkas duri durinya dengan sebelah tanganku.  Sebelahnya lagi aku gunakan untuk memintal api.

Duri durinya aku rantai bersama kemarahanku.  Aku panasi dalam jilatan api.  Bukan untuk menghukummu.  Namun sekedar mengingatkan apa arti ngilu.

Aku tahu kamu akan memohon kepada hujan.  Agar tiba tiba datang.  Memadamkan api sekaligus marahku.  Aku juga paham kamu akan bersekutu dengan getah damar.  Agar menumpulkan tajamnya duri dan hati. 

Apa kamu lupa.  Aku adalah sungai, danau dan banjir.  Tak mempan jika hanya getah dan hujan untuk menghalangiku.  Kamu harus menjadi bendungan, bukan sekedar pematang.  Kamu harus terbuat dari sengat marabunta, bukan sekedar tanah kering merana.

Tunjukkan beberapa pintas jangan sekilas.  Apa arti maaf bagi kemarau yang tak tuntas.  Setelah hujan badai menenggelamkan semua tunas.

Jakarta, 21 Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun