Aku memperhatikan tubuh pantai yang kala itu mirip sekali dengan gadis aduhai sedang berusaha memikat jejaka yang diperankan oleh pohon pohon pendek api api. Â Aku menulisi pasir seolah itu sehelai kertas yang nantinya akan kupigura lalu aku pasang di dinding kusam tempatku menatap dan berbaring sebelum tidur.
Kamu memerankan diri sebagai patung pualam pintar. Â Terlihat sangat pintar. Â Saat itu. Â Padahal kamu mulai memerangkap diri dalam lawan katanya secara tidak disadari. Â Pikiranmu mengelupas begitu cepat lalu mencair menjadi air yang menerobos sela sela senyummu yang kamu anggap bijaksana. Â Padahal sama sekali tidak. Â Itu adalah pikiran terpicik di dunia setelah diumumkan sebagai penyesalan.
Aku sudah memulai membangunkan mimpi yang sebetulnya masih ingin terlelap. Â Aku tidak memaksa. Â Tapi mimpi itu ternyata begitu baik hati dan memberiku kesempatan untuk menyusunnya secepat badai menemui kekasihnya.
Namun secepat datangnya secepat itu juga mimpi itu roboh. Â Berserakan dalam bentuk kepingan. Â Menyusunnya lagi masih harus bersepakat dengan lelah. Â Baku hantam dengan gelisah. Â Kemudian tawar menawar dengan cahaya bulan. Â Lebih dulu mana datang dibanding bintang bintang.
Jakarta, 17 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H