Menggenapkan ganjil berlalu lalang tak bertimbang. Â Muka nyalang kegelapan meraba tangan tangan gerimis. Â Menyisihkannya dari pandangan menghalangi sinar bulan. Â Memang, malam ini pemandangan tak menyenangkan. Â Tapi itulah hidup jika sedang berhitung hitungan.
Urat syarafku merintih meminta mimpi. Â Hampir pula dinihari. Â Tapi mataku malah mengusap pedas untuk terbelalak lagi. Â Berharap dunia masih terjaga, Â menemani hingga teriakan sahur bergema gema.
Betapa gelak terbahak bahak. Â Terdengar di selasar bumi yang besar. Â Para pengkhayal sedang berpesta pora. Â Menciptakan kata demi kata tanpa sedikitpun mau berjeda. Â Membuatku terbelalak semakin lebar. Â Ini adalah kekacauan yang kuinginkan.
Jadi? Apakah gelombang kejut ini akhirnya mengatur kapan waktu tidur harus terkalahkan. Â Oleh bayangan bayangan bening tak terbaui asap dupa? Â Bisa saja. Â Mungkin juga. Tak perlu ditanya.
Jakarta, 5 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H