Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menyalakan Terang

5 Mei 2017   16:32 Diperbarui: 5 Mei 2017   16:58 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saat sisa lilinku yang terakhir padam.  Gelap seolah olah mau menerkam.  Buru buru aku meraih tirai jendela. Mau minta tolong pada bulan.  Berbagi cahayanya sedikit kesini.  

Aku terperanjat.  Rumah ini tak berjendela!  Aku terjebak!

Seketika aku meraba raba.  Berharap ada pegangan pintu, supaya terang bisa menganga secepatnya.

Aku menemukan api!  Rumah terang benderang! Atapnya terbang entah kemana.  Sinar matahari menyeruak.  Memantulkan seribu prasasti tentang cinta.

Aku biarkan apiku.  Menyalakan terang dalam hatiku.  Menunggu gerimis datang.  Kirimkan kelembutan remah remah air. Sejukkan tumpahan keringatku yang deras mengalir.  

Jakarta, 5 Mei 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun