“Nahh bocah, duduk sajalah tenang di situ. Kami mendapatkan tugas dari kakak cantikmu untuk mengambil buku itu.” Salah seorang berbicara, orang yang pendek kekar dengan codet di separuh wajahnya. Arya Dahana memandangi kedua orang itu bergantian. Tidak terlihat ketakutan di wajahnya. Tersenyum mengejek dan berkata,” Aku tidak mengenal paman berdua, dan aku yakin kakak Puspa juga pasti tidak mungkin mengenal kalian berdua...pergilah paman. Sebelum kakak Puspa datang dan menghajar bokong kalian.”
Dua orang anggota dari Lima Begal Garahan itu terperanjat bukan main. Anak sekecil ini punya nyali sebesar itu. Tak sabar, si pendek maju ke depan. Berniat mencengkeram lengan Arya Dahana dan melemparkannya ke jurang. Alangkah kagetnya dia ketika belum juga tangannya menyentuh, sebuah kekuatan yang tak kasat mata menolak tubuhnya dengan hebat. Belum juga hilang kagetnya, bocah lelaki itu mendorongkan kedua tangannya ke arah temannya yang sedang maju untuk memberikan pukulan kepada bocah itu. Temannya yang kurus tinggi itu terpelanting ke belakang. Kepalanya yang botak membentur batu yang banyak berserakan di situ. Meskipun tenaga Arya Dahana sangatlah besar dan ajaib, namun karena belum terlatih maka akibatnya tidaklah fatal. Si tinggi kurus bangkit dan menyumpah nyumpah sambil menggosok gosok kepalanya yang benjol sebesar telor itik. Diraihnya pedang panjang dari punggungnya dan dengan pandang mata mengancam bergerak hati hati ke arah Arya Dahana. Sementara si pendek juga tidak mau kalah. Di tangannya telah tergenggam sebatang tongkat dari besi baja.
Arya Dahana tahu bahwa nyawanya kini terancam bahaya. Dia sadar mereka benar benar berniat membunuhnya. Diingat-ingatnya pelajaran yang selama ini diterima dari ayahnya. Ditekuknya kedua kakinya sejajar dengan tanah. Dikerahkannya semua pusat perhatian ke ulu hatinya. Hawa murni selalu berkumpul dan berputar di ulu hati, demikian ujar ayahnya. Kendalikan putarannya, salurkan ke arah manapun yang kamu mau. Sambil terus memusatkan perhatian dengan cara memejamkan mata, Arya Dahana merasa hawa panas dan dingin bergantian menyergap ulu hatinya. Pusarannya makin lama makin cepat. Makin cepat. Luar biasa cepat. Pandangan matanya berkunang kunang. Dia sama sekali tidak sadar bahwa serangan senjata kedua orang jahat itu telah dilepaskan.
“Traaang!...Duuukkk!....Desssss.....Buuuukkk.......uuugggghh.....ahhhhhh”
Sebelum senjata itu mengenai tubuh Arya Dahana, berkelebat sebuah bayangan hitam. Menangkis tongkat dengan sebatang kayu dan menangkis serangan pedang dengan sebilah pedang pendek. Tongkat si pendek terpental jatuh dan pedang si kurus tinggi patah menjadi dua. Sedangkan dua orang jahat itu terpelanting babak belur akibat pukulan yang dilayangkan oleh bayangan hitam itu.
“Kakak Puspa!...akhirnya kau datang. Hey paman! Sudah kubilang kakak Puspa akan menendang bokong kalian kan?” Teriak Arya Dahana kegirangan melihat Dyah Puspita menghajar dua orang itu. Tapi kegirangan itu tidak berlangsung lama. Tiga sosok tubuh tinggi besar tiba dengan cepat.
“Hmmmmm...Lima Begal Garahan! Pergilah! Aku tidak akan berbasa basi denganmu kali ini....” Dyah Puspita melompat di depan Arya Dahana sambil bersiaga penuh terhadap serangan.”Arya, jika aku terdesak, larilah ke arah matahari terbenam. Terus dan jangan berhenti.”
Lima Begal Garahan yang tahu bahwa wanita cantik di hadapan mereka ini tidak bisa dipandang remeh segera berpencar membentuk formasi. Mereka yakin kalau satu lawan satu mereka akan kalah. Tapi kalau dihadapi bersama mereka yakin akan menang. Selain tergiur dengan kemolekan wanita cantik ini, mereka memang mengincar buku kecil warisan Arya Prabu. Arya Dahana bergerak mundur tapi tidak terlalu jauh. Dia tidak akan lari. Dia akan bertahan dan membantu Dyah Puspita sampai mati. Kembali dia memusatkan perhatian dan konsentrasi pada pengendalian hawa panas dan dingin di ulu hati yang hampir membuatnya pingsan tadi.
Perkelahian pun tak terelakkan. Lima sosok laki laki itu mengepung dan bergerak dari lima arah. Sementara Dyah Puspita hanya mencoba mempertahankan diri. Dia tidak akan menyerang sampai benar benar yakin serangannya menimbulkan korban. Dia akan bertahan lama jika berkelahi dengan cara begini, sambil memikirkan hal lain yang bisa dilakukan untuk lolos atau memenangkan pertempuran.
Lima Begal Garahan adalah perampok yang menguasai jalur selatan menuju ibukota kerajaan Majapahit. Mereka bisa merajalela seperti ini karena memang sengaja dibiarkan oleh Raja Blambangan maupun Mahapatih Gajahmada. Raja Blambangan tidak ingin rakyatnya menyeberang perbatasan menuju Majapahit, sehingga keberadaan Lima Begal Garahan justru menguntungkan bagi Blambangan. Demikian juga sebaliknya.
Perkelahian telah meningkat setelah beberapa jenak. Dyah Puspita kini tak lagi berusaha mempertahankan diri. Dia sekarang balik menyerang dengan dahsyat. Ilmu yang diturunkan oleh Ki Tunggal Jiwo yang paling terkenal adalah Braja Musti. Tubuh Dyah Puspita bergerak seperti awan. Terlihat pelan namun sanggup menghindari segala pukulan. Lima Begal Garahan kini mengandalkan jumlah untuk memenangkan pertempuran. Bagaimanapun lihainya, Dyah Puspita hanyalah gadis muda yang belum banyak pengalaman. Setelah sekian saat, bajunya sudah robek di sana sini terserempet senjata atau pukulan dari Lima Begal Garahan. Namun dia juga berhasil melukai sedikitnya tiga di antara mereka. Jika dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti kehabisan tenaga. Dan benar saja, karena lengah, sebuah pukulan dari pemimpin begal itu mengenai atas dada kirinya. Dyah Puspita terpental ke belakang. Darah menetes di sudut mulutnya. Keadaannya benar benar berbahaya sekarang. Pukulan itu cukup telak dan melukai bagian dalam tubuhnya. Lima orang jahat itu melihat kesempatan,”Jangan bunuh! Gadis ini sangat cantik dan bisa memuaskan kita untuk beberapa lama..." Pemimpin begal yang tinggi besar memperingatkan kawan-kawannya. Serangan Lima Begal itu semakin gencar. Sebuah sabetan pedang mengenai lengan kiri Dyah Puspita. Darah menetes deras membasahi baju hitamnya yang sudah compang camping. Beberapa pukulan berikutnya mendarat di tubuh Dyah Puspita. Membuatnya terpelanting ke belakang dengan luka dalam yang cukup hebat. Saat hendak bangkit lagi untuk membalas serangan, tubuhnya tidak bisa digerakkan. Dyah Puspita sangat kaget. Rupanya pemimpin begal tinggi besar sempat menotok aliran darah di punggungnya. Dia masih bisa menggerakkan tangannya tapi kakinya tidak.