Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lelaki Tua dari Indonesia

15 April 2017   21:05 Diperbarui: 16 April 2017   06:00 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak, ibu...silahkan mampir, warung kami sudah buka.  Menunya sangat biasa.  Hanya nasi, tempe, tahu dan telor dadar saja.  Kami menggorengnya dengan minyak kelapa, bukan margarine buatan Amerika.  Kami memasak menggunakan tungku bara, bukan kompor listrik buatan Singapura.  Kami mengaduk kuah di kuali, bukan panci buatan Itali.

Suara menggeletar sukma seorang lelaki tua, membuka pagi di warungnya yang sederhana. 

Bapak, ibu...mohon permisi,  anak kami hendak berangkat sekolah.  Ijinkan kami mengantarnya hingga depan rumah.  Hari ini pelajarannya adalah sejarah.  Majapahit, Sriwijaya, Nusantara, adalah menu yang dibuka oleh para guru, bukan Aztec, Inca atau kerajaan di Peru.   Semangat dan kegagahan Tjut Nya’ Dien, Diponegoro dan Untung Surapati, adalah perlawanan pedang dan hati bangsa ini, bukan kisah heroik Roosevelt, Churcill atau Mussolini.

Lelaki tua itu membusungkan dada sambil mengusap kepala anaknya penuh harapan dan suka cita.

Bapak, ibu...liburan besar nanti, kami sekeluarga mendapatkan hadiah pesiar dari pelanggan kaya raya kami.  Kami berencana pergi ke danau Toba, padahal kami diberikan pilihan untuk pergi ke danau Geneva.  Kami lebih suka menikmati seperti apa kaldera dari gunung api purba.  Kami akan lanjutkan pergi ke Puncak Jaya, padahal kami diberikan arahan untuk pergi ke Alaska.  Kami lebih terharu jika bisa menyentuh dinginnya salju Papua. 

Setitik embun beku melompat bangga dari mata lelaki tua dari Indonesia.

Jakarta, 15 April 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun