Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Malam Terlarut dalam Secangkir Kopi

2 April 2017   11:49 Diperbarui: 4 April 2017   15:12 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam. Gelap yang terkadang memberikan terang.  Bagi lampu lampu di pojokan jalan yang menunduk mencari serangga.  Sering pula menerbitkan pekat yang menghantui hati.  Tapi itu adalah tugasnya.  Mengadili siang yang tak boleh bertahta semaunya.

Cangkir.  Wadah bisu tempat bergumulnya kisah.  Keinginan dan ketidaktahuan menjadi kesatuan.  Berdenting lirih atau berdentang gamang.  Bagi tangan tangan yang menjamah sekuat raksasa, selemah para nestapa. 

Hitam.  Mengaduk rasa pahit yang dituang bersama senyuman melati.  Secepat kilat melarutkan malam yang pekat.  Ke dalam cangkir yang disinggahi oleh banyak cerita.  Tenggorokan ini langsung terbasahi oleh kebas.  Pada rasa kantuk yang menyengat seperti ribuan tawon.  Aku harus selesaikan kisah ini.  Atau aku akan terperangkap selamanya dalam kerangkeng bernama tempurung.

Manis.  Adalah rasa yang memberontak terhadap pahit.  Hulubalangnya adalah sekawanan gula.  Panglimanya adalah senyumanmu yang tulus dan penuh cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun