Bincang-Bincang Generasi Emas Batak:
"Toga Pendeta Di Dalam Sumur". Ini kisah penderitaan seorang pendeta menghadapi istrinya yang sangat materialistis [matre], Â konsumtif, hedon. Ia harus memiliki benda maupun barang dambaannya sesuai waktu yang dia targetkan. Dandanannya dan pakaiannya super mewah tentu membutuhkan uang.Â
Di setiap suaminya, pendeta, pulang ke rumah si istri selalu [dan langsung] merazianya dengan merogoh kantong celananya maupun kantong jasnya untuk mengambil amplop maupun uang salam-salam yang diterimanya dari tempat bertugas. Si suami setiap hari diomelin olehnya berhubungan dengan uang dan uang. Mulutnya selalu mengeluarkan kata-kata "uang ini" maupun "uang itu". Pernah si istri merasa targetnya tidak terpenuhi. Dia marah kepada suaminya.Â
Rumah yang sewajarnya tenang berubah menjadi ramai oleh suara suami istri itu. Keduanya saling mengekspresikan amarahnya dengan kata-kata juga gerak tubuh. Si istri merasa panik kehabisan kata-kata menyerang suaminya. Dia melangkah ke dalam kamar mengambil toga hitam milik pendeta. Toga itu digulung-gulungnya dan dibawa ke kamar mandi dengan langkah kaki setengah berlari. Si suami ingin menarik toga itu dari tangan istrinya apa daya ia merasa lemas tak berdaya. Ia tak dapat mengambil toga itu dari tangan istrinya. Istrinya membawa toga itu ke kamar mandi dan membuangnya ke dalam sumur yang berkedalaman 60m lebih.Â
"Mulai besok tak usah jadi pendeta kau. Nama-nama binatang bermuntahan dari mulut istrinya. Saya sudah membuang togamu ke dalam sumur. Kamu pikir cukup uang-uang dari amplop selama ini untuk biaya hidup kita? Uang salonku saja itu kurang. Lebih baik kita bercerai. Cari jalanmu aku cari jalanku. Kita cari jalan masing-masing. Andaikan saya tahu begini situasimu saya tidak akan pernah mau menjadi istrimu", amarah si istri sudah tidak terkendali. Si istri bergegas masuk ke dalam kamar membanting pintu dan menguncinya dari dalam. Di sana ia menangis. Si pendeta pun keluar dengan mengenderai sepeda motornya menjumpai teman seprofesinya. Dadanya sesak. Ia memutuskan tidak pulang. Situasi mereka mendapat perhatian dari beberapa oknum pendeta.Â
Bisik punya bisik masalah yang dihadapi pasangan suami istri itu sampai ke telinga pimpinan termasuk istri pimpinan [Pimpinan tertinggi di organisasi gereja ada yang menyebutnya Ketua, Ephorus, Bishop]. Ke pihak keluarga pun berita itu terkirim dari mulut ke mulut termasuk kepada orang tua pasangan suami istri itu. Istri pimpinan mengutus seorang istri pendeta [selanjutnya saya namai Mediator] menjumpai istri pendeta yang membuang toga itu. Tujuannya adalah melakukan perdamaian sekaligus perbaikan hubungan suami istri. Si Mediator pun mempertemukan si pendeta dengan istrinya. Si Mediator menawarkan opsi bercerai dan rekonsiliasi untuk dipertimbangkan. Istri si pendeta dinasihati dari berbagai sudut pandang.Â
"Hal toga itu sangat sakral bagi saya. Saya akan mengambilnya [ibu mediator menggaji seseorang mengambil toga itu dari dalam sumur] dan akan memberikannya kepada anak saya yang laki-laki. Saya akan berdoa memohon kepada TUHAN agar toga itu tidak terbuang sia-sia tetapi sebaliknya berfungsi sebagaimana mestinya. [Ucapan ibu mediator itu benar menjadi fakta di puluhan tahun kemudian. Seorang dari puteranya berhasil menjadi pendeta di salah satu organisasi gereja. Ibu yang hari ini sudah janda pendeta itu memiliki ingatan jelas terhadap toga itu.Â
Setiap melihat anaknya yang pendeta ia mengingat toga itu]. Kembali kepada istri pendeta yang sangat materialistis itu. Sampai hari ini di usia menjelang pensiun masih tetap demikian malah semakin menjadi-jadi matrenya. Dimana suaminya bertugas di sana ia targetkan sebuah rumah mewah berikut mobil. Tubuhnya dihiasi dengan perhiasan-perhiasan emas dan berlian. Lipstiknya. Tasnya. Kebayanya. Salonnya. Diperhitungkan di tubuhnya selalu melekat benda bernilai puluhan juta rupiah disetiap penampilannya. Mereka sudah memiliki sedikitnya 3 unit rumah mewah berikut mobil dan beberapa rumah kontrakan.
Bayangkan bila istri seorang pendeta biasa saja sematre itu. Bagaimana pula bila istri seorang pimpinan organisasi gereja yang matre? Bisa-bisa semua pendeta di organisasi gerejanya dilibas untuk mencari amplop sebanyak-banyaknya. Bisa-bisa pembangunan dijadikan modus untuk mengumpulkan uang sampai setinggi gunung Simbolon. Libas terus. Bisa-bisa dilakukan mutasi besar-besaran dikalangan pendeta demi mendapat uang pelicin supaya mendapat tempat "basah".Â
Bisa-bisa para pendeta muda dan ganteng disortir untuk menjadi pengawal istri pimpinan di setiap kegiatannya dengan alasan supaya serasi dengan penampilannya. Bisa-bisa suami yang pimpinan tetapi istri pengambil keputusan. Bisa-bisa kepemimpinan suami dipandang istri sebagai barang dagangan yang selalu ditransaksikan dengan uang. Bisa-bisa organisasi gereja yang seyogianya berorientasi kepada kepentingan TUHAN berubah kepada kepentingan istri pimpinan, keluarga dan koleganya.Â
Bisa-bisa organisasi gereja itu tak perlu membaca aturan dan peraturan. Semoga tidak ada istri pendeta yang demikian. Semoga tidak ada istri pimpinan organisasi gereja demikian. Semoga ini hanya ada di dalam cerita ini saja. Sebagai penutup mari kita nyanyikan lagu "Ku Mau Cinta Yesus Selamanya". (MN).