Papua: antitesis baru dan pembalikan radikal
Oleh Milto Seran
Indonesia dalam sejarahnya adalah bangsa yang teranggit dari berbagai suku bangsa, bahasa dan agama. Pluralisme ini kemudian memacu para pemuda pelajar mengambil sumpah bersama untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu dalam tenunan “Nasionalisme Indonesia”. Jelas di sini, suku bangsa manapun dari Sabang sampai Merauke, jika hendak berintegrasi dengan bangsa Indonesia, tentu mesti menyatakan kesediaan dan kesetiaan untuk menerima dan menghayati ketiga sumpah itu. Pertanyaannya, apakah sumpah ini merupakan sebuah konsensus bersama?Jika ia merupakan sebuah konsensus, maka bangsa Indonesia sebagai satu bangunan rasa-hidup (Bung Karno), tentu didirikan di atas prinsip kehendak umum saat itu (pra-revolusi). Bahwasannya kehendak itu adalah kehendak universal masyarakat Indonesia untuk menggapai self-determination, yang berarti Indonesia mesti bebas dari belenggu kolonialisme.
Akhir-akhir ini, kerap kita membaca dan mendengar kisah tentang aktivitas OPM, intaian aparat dan unjuk rasa di Papua yang sering berakhir ricuh dan menelan korban. Nah, apakah “jalan referendum” Timor Timur telah meninggalkan “pelajaran” berharga bagi Papua? Apakah kasus Papua kelak akan sejalan dengan Timor Timur?
Rasanya tak mudah menjawab pertanyaan seperti ini, ketika kita teringat “kaul kolektif” para pemuda pelajar pada 28 Oktober 1928. Sesungguhnya, kaum muda kala itu tak punya imaji bahwa kelak pada tahun 1975 Timor Timur mesti diterima dan diperlakukan sebagai “golden boy”, tapi usianya di tangan Indonesia amat muda. Cuma 24 tahun, dan ia memilih memisahkan diri. Mereka yang memilih integrasi, dengan hati terluka meninggalkan tanah kelahiran. Sedangkan kelompok yang merdeka, tentu meneriakkan pekik “Viva Timor Leste!” Tetapi pandangan mata kaum yang pro-integrasi dan pro-kemerdekaan beradu sepi dalam lalapan api dan kucuran darah karena bedil perang saudara. Seperti itukah nasionalisme kita?
Antitesis baru
Timor Timur sudah berlalu. Meski nyatanya (atas nama nasionalisme?) ia harus dibikin berdarah-darah. Kini tampaknya Papua merupakan sebuah antitesis baru terhadap sumpah pemuda dan nasionalisme Indonesia. Sejak 1 Mei 1963, ketika Irian Barat diserahkan oleh PBB dari United Nations Temporary Executive Authority(UNTEA) ke tangan pemerintah Indonesia, antitesis tersebut tak dimadahkan dalam pekik “Papua Merdeka”. Namun, terlihat jelas kala itu. Di hadapan pemimpin karismatik sekaliber Bung Karno, saat itu orang Papua pun tak cukup menaruh simpati pada nasionalisme Indonesia. Simak saja! Pada 4 Mei 1963, Soekarno bersama satu rombongan tiba di pelabuhan Hollandia dengan kapal penjelajah Irian. Soekarno coba menanam semangat nasionalisme dalam lubuk hati dua sampai tiga ribu orang Papua di hadapannya. Ia berbicara tentang sejarah kembalinya Papua ke ribaan NKRI. Tak cuma itu. Bung Karno juga melatih orang Papua menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia disertai pekik “Merdeka”. Namun, pelajaran-pelajaran ini berhasil pas-pasan saja. Pasalnya, ada pihak yang diam-diam mau pergi, tapi “Brimob” dengan tegas mengembalikan mereka (P.J. Drooglever: Tindakan Pilihan Bebas, 2005).
Tentang masa depan Papua, hari ini kita tak punya cukup alasan untuk menduga, kapan orang-orangnya akan “pergi” sungguh-sungguh? Pengalaman Bung Karno di atas, jika dilihat lebih jeli dan teliti, adalah sejarah Papua yang kini berbicara kian lantang di tengah isak tangis warga Papua karena kekerasan, kemiskinan, konflik yang gagal ditangani, himpitan kemiskinan dan keterbelakangan dalam dunia pendidikan, intimidasi dan hak-hak kemanusiaan yang tak tegak di sana. Jika benar terjadi bahwa OPM mendapat banyak simpati dari kaum Papua yang tertindas, takut dan terancam, maka batas antara nasionalisme dan separatisme makin kabur, dan karena itu pula dalam hal keamanan, tak perlu heran jika batas antara hidup dan mati hanyalah sehelai rambut.
Dalam kenyataan, kekerasan di Papua dan isu-isu mengenai aktivitas OPM telah dijadikan alasan kuat bagi aksi-aksi militeristik yang cenderung merugikan warga sipil. Berikut ini adalah sejumlah tindakan aparat pada pertengahan tahun 1994 hingga pertengahan 1995, yang tergolong pelanggaran HAM; terjadinya serangkaian penangkapan dan penahanan yang tidak manusiawi terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan OPM, hilangnya orang-orang dari beberapa keluarga yang salah satu saudaranya diduga ikut OPM ke hutan, pengawasan dan pengintaian yang menimbulkan ketegangan mental berkepanjangan di kalangan penduduk, penganiayaan terhadap warga sipil, dan pembakaran serta perusakan rumah dan kebun milik penduduk (Aderuddin dan Aderito Jesus de Soares: Perjuangan Amungme, 2003).
Merasa prihatin dengan kekerasan dan penderitaan orang-orang Papua, Tom Beanal mengatakan, “Ah, kalau mau bunuh kami, kumpulkan kami di lapangan terbuka, dan bunuh habis supaya kami jangan hidup dalam situasi masih hidup, tetapi hanya badan dan kulityang bergerak, jiwa kami sebenarnya sudah mati”. Dalam pemahaman seperti ini, jiwa yang telah mati, dapat diartikan sebagai jiwa yang telah “pergi” dari tubuh. Bagaikan jiwa kerdil dan takut yang terpaksa “pergi”, seperti itu juga nasib orang-orang Papua yang terpepak antara aktivitas OPM dan intaian militer. Tak ayal, realitas kekerasan dan ketidakadilan di Papua selama bertahun-tahun memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia tak lagi menjadi “rumah” yang nyaman bagi orang Papua. Masyarakat bahkan dibikin terasing dari halaman rumah sendiri.
Hal yang menarik, atas dasar kenyataan Papua yang penuh dengan masalah-masalah kompleks itu, maka lahirlah UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Apa yang terjadi? Setelah 10 tahun berjalan, Papua tak mengalami perubahan signifikan. Masyarakat Papua tetap miskin, keamanan tidak terjamin, ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi.
Pembalikan Radikal
Pertama, separatisme tak harus dipahami melulu sebagai gerakan subversif, makar atau ancaman terhadap integritas bangsa. Karena itu ungkapan kas militeristik seperti menjaga “stabilitas negara” tampaknya sangat bertentangan dengan rasionalitas kemanusiaan. Sebab memilih mempertahankan “stabilitas negara”, jalan yang mau tak mau ditempuh adalah serang dan perang terhadap “yang lain” yang berbeda. Tak dapat disangkal, jalan ini tak lain adalah deru dan darah. Seperti itukah paham nasionalisme? Kalau benar demikian, nilai-nilai Pancasila yang dijadikan sebagai dasar pijak hidup berbangsa dan bernegara, tak lagi berbicara tentang kemanusiaan dan peradaban, malah kebiadaban karena “perang saudara” sampai berdarah-darah lahir dari paham sempit nasionalisme yang tak memberi tempat bagi kemanusiaan. Separatisme, dalam pemahaman ini, mesti ditelusuri dari sisi tilik sejarah dan kemanusiaan yang memberi ruang rasional bagi dialog dan kebebasan berbicara.
Kedua, Bapak Presiden yang terhormat, menyeberanglah ke Papua! Suara Papua yang terekspresi dalam kibaran Bintang Kejora merupakan simbol kebangkitan kaum yang selama ini didekati dengan metode “pembungkaman” dan “penjinakan”. Pada satu pihak, pembungkaman itu mewujud dalam bentuk intimidasi dan kekerasan. Sering, fakta pembungkaman itu berakhir dengan penahanan bahkan pembunuhan tokoh-tokoh tertentu. Pada pihak lain metode penjinakan dilakukan oleh negara misalnya dengan menerapkan Otsus. Dan nyatanya, UU Otsus Papua pun mangkrak. Tak ada perubahan signifikan.
Seperti bom waktu, Papau sewaktu-waktu dapat meledak dan mengandung resiko. Papua menunggu momentum tepat untuk “ekspresi diri” dan pembebasan. Selama ini momentum itu misalnya 1 Desember sebagai hari ulang tahun Papua, atau 1 Mei sebagai hari penolakan aneksasi Papua oleh Indonesia. Pada perayaan-perayaan ini biasanya Bintang Kejora dikerek dan dikibarkan. Berhadapan dengan aksi seperti ini, tanggapan militer selalu klasik. Penangkapan dan penyiksaan atau ungkapan yang diperhalus yakni “pembinaan”.
Kejadian seperti ini sudah berulang-ulang terjadi. Jika tidak disikapi secara hati-hati, tentu pelanggaran HAM sangat mungkin akan terjadi terus. Apakah tak ada pilihan lain yang lebih manusiawi dan elegan untuk menghadapi realitas Papua? Katakan saja, bapak Presiden yang terhormat menyeberang sejenak ke Papua untuk “melihat” dan “mendengarkan” Papua secara jeli, lalu kembali ke Istana Kepresidenan untuk “mempertimbangkan” realitas Papua secara saksama, dan “menentukan” tindakan yang tepat.
Dengan demikian, pendidikan nasionalisme di Papua bukan lagi pendidikan yang mengandalkan pola militeristik, melainkan metode “survei mendengarkan” apa yang menjadi persoalan dan harapan masyarakat. Tindakan “survei mendengarkan” ini pun hanya dapat dijalankan secara paripurna dalam kondisi bebas tekanan dan ketakutan. Barangkali dengan pendekatan yang manusiawi dan berhaluan transformatif seperti ini, kesadaran untuk berbangsa dapat dipahami dan dihayati secara beradab.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H