Mohon tunggu...
milto seran
milto seran Mohon Tunggu... -

Son of the Luminous

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ary Sutedja di Bukit Angker

20 September 2012   18:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:07 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ASAH di Bukit Angker

Oleh Milto Seran

Peminat Musik Klasik

Tinggal di Wisma Rafael – Nita, Maumere, NTT

HENING di malam akhir pekan, Sabtu (15/09/2012). Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, terasa sepi. Dalam atmosfir remang-remang, di halaman depan auditorium teologan STFK Ledalero, ratusan peminat musik klasik berkumpul menunggu datangnya ASAH. Pada taman yang sengaja dirancang dengan nuansa natural itu, sorotan lampu panggung terpusat pada piano yang siap dimainkan. Tampak di bagian latar, kanvas berwarna putih membentuk dinding separuh lingkaran. Sedangkan deretan kursi di taman itu telah dipenuhi penonton yang tak sabar menanti kehadiran pianis Indonesia, Ary Sutedja dan crew-nya.

Tepat pukul 21.00, tiba-tiba Ary Sutedja melangkah lewat di antara deretan kursi penonton yang diterangi obor-obor di pinggir taman. Maklum, tak ada lampu taman di halaman yang disulap menjadi panggung konser gratis ini.

Eksotisme bukit matahari

Ledalero atau Bukit (Sandar) Matahari. Konon, tempat ini ditakuti oleh penduduk di sekitar Maumere, Flores, NTT, karena diyakini sebagai hunian roh-roh yang mudah tersinggung. Namun, sejak Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero didirikan pada 20 Mei 1937 oleh para misionaris Eropa, berangsur-angsur bukit ini berubah menjadi tempat yang eksotik, memiliki daya tarik, dan tak lagi angker serta dikenal luas bukan hanya di tingkat nasional melainkan juga di mata internasional.

Hingga tahun ini, Ledalero telah berusia 75 tahun, dan di bawah spiritualitas SVD (Societatis Verbi Divini ) ia telah mengirim ratusan misionaris ke 49 negara di lima Benua. Selain mengirim misionaris ke seantero jagat, Ledalero pun telah menghasilkan banyak alumni yang mengabdi bangsa dan negara. Tak heran, dalam sejarahnya, Ledalero yang telah dikenal luas ini dikunjungi tokoh-tokoh besar seperti Paus Yohanes Paulus II, Jendral Ahmad Yani, Frans Seda, pemimpin umum KOMPAS, Jacob Oetama, Fotografer Antara, Oscar Motuloh, Anand Krisna dan deretan nama tokoh-tokoh besar lainnya.

Kali ini giliran pianis Indonesia, Ary Sutedja, mendatangi bukit matahari. Bersama ASAH, Ary Sutedja dan Mikhail David memberi warna tersendiri pada langit malam Ledalero. ASAH merupakan sebuah program (kebudayaan) berkunjung di 100 kota Indonesia. Program ini digagas oleh Mikhail David untuk Ary Sutedja (pianis) dan Asep Hidayat (Cellis) pada akhir tahun 2006. Malam itu, untuk ketiga kalinya para penghuni Bukit Sandar Matahari mendapat kehormatan dari ASAH dalam Tour 2012 bertajuk, “Memeluk Indonesia”. Sebelumnya ASAH mampir di Ledalero pada 22 April 2007 dan 26 Maret 2008.

“Selamat ulang tahun Ledalero. Usia 75 tahun itu sudah luar biasa”, Ary mengawali konser kali ini dengan mengucapkan selamat untuk para penghuni biara Ledalero yang merayakan usia intan pada 8 September 2012. Tepuk tangan hadirin bersambut. Riuh suara para penikmat musik klasik sejenak memecah keheningan malam. Ary kemudian menjelaskan Tour ASAH 2012 yang rencananya akan menyinggahi 100 kota di persada Indonesia. Ledalero merupakan labuhan ke-54 dalam tour tahun ini.

“Di Indonesia kita kenal banyak genre musik. Ada dangdut, keroncong, pop, jazz serta musik klasik yang jarang dinikmati. Selama ini banyak pihak memberi stigma pada musik klasik yang katanya hanya dinikmati oleh golongan elitis. Padahal musik klasik bisa dinikmati oleh siapa saja, sebab musik itu bahasa universal. Dan kami hadir untuk anda semua,” demikian Ary membuka pertunjukan solo piano yang dipadu dengan live happening visual arts oleh Mikhail David, sang suami.

Adapun, Ary Sutedja, pianis yang pernah belajar musik klasik dengan berguru pada pemusik-pemusik Rusia, menjelaskan suguhan-suguhan musik klasik yang akan dibawakannya. Ia seolah menghadirkan kembali komposer-komposer besar dalam tiga etape sejarah musik klasik dunia yakni, abad 17, 18 dan 19. Selain membawakan sonata karya para komposer dunia, Ary menambahkan karya-karya komposer nasional seperti Mochtar Embut dan Amir Pasaribu.

Ary yang berbusanakan pakaian adat Sikka, meletakkan mic di lantai. Ia segera menghampiri piano, lalu dengan apik jemarinya perlahan berjatuhan di atas tuts-tuts. Malam ini musik memang bukanlah piano. Juga bukan pianis. Musik itu perkawinan pianis dan piano. Secara amat menakjubkan, Aryberturut-turut menyuguhkan karya Giuseppe Domenico Scarlatti (26 Oktober 1685 – 23 Juli 1757) dengan Sonata B Mayor dan F Mayor, menyusul karya W. A. Mozart (1756-1791) dengan Sonata Bes Mayor bagian I.

Sebelum mempersembahkan karya-karya para komposer kelas wahid itu secara sempurna, Ary terlebih dahulu memperkenalkan riwayat hidup mereka. Mozart misalnya, sudah tertarik pada musik sejak usia 3 tahun dan ketika berusia 6 tahun ia sudah mengadakan tour keliling Eropa. Tak cuma Scarlatti dan Mozart, pianis yang meraih gelar “master of music” – bidang seni pertunjukan piano di Universitas Towson di Baltimore, Maryland pada 1992 ini, memainkan pula opus Frederick Chopan (1810-1849), Etude Opus 25 no. 1 dan 2 (solo piano).

Jemarinya yang lentur dan terampil di atas tuts-tuts piano, menghasilkan bunyi yang perfect dan memukau penonton. Terkadang ia memainkan tempo begitu cepat, kadang diperlambat. Ary yang pandai mencipta dinamika keras dan lembut ini, sungguh-sungguh melahirkan kembali kekhasan-kekhasan musik zaman klasik (1750 – 1820) yakni, penggunaan dinamika dari keras menjadi lembut (Crassendo dan Decrasscendo), perubahan tempo dengan accelerando (semakin cepat) dan ritarteando (semakin lembut) dan penggunaan Accord 3 nada.

Empat tangan satu piano

“Kalau menonton saya memainkan piano sendirian, rasanya monoton dan membosankan. Kita undang ibu Linda Suharso dan berdua kami memainkan Sonata for piano - four hands, karya seorang komposer Prancis,Francis Poulenc (1899–1963), empat tangan satu piano,” Ary Sutedja coba mengundang Linda Suharso. Sungguh ini merupakan harmoni yang tak dibuat-buat. Dua pianis berbagi satu piano dan satu tempat duduk. Pertunjukan yang sempurna.

Beberapa menit berselang, tangan kanan Ary terangkat setinggi bahu. Diam seketika kemudian berpandangan dengan Linda Suharso. Keduanya semringah. Ary berpaling dan tersenyum lebar. Linda Suharso bangkit dan menghormat penonton lalu meninggalkan panggung. Hadirin, yang kagum pada penampilan dua pianis berbakat ini, melepas rasa kagum dalam tepukan tangan.

“Dunia kita terasa kian harmonis andaikan kita sanggup membangun kerja sama yang baik,” demikian tegas Ary di ujung penampilan empat tangan satu piano. Applause penonton kembali bersahutan,apalagi kali ini Ary menghadirkan Marcellino Gonzales, bariton yang juga berprofesi sebagai seorang hakim. Panis Angelicus segera dilantunkan sambil diiringi oleh Ary Sutedja, sedangkan pada kanvas yang transparan itu tampak gerakan visual arts Mikhail David mengikuti irama musik.

Selain mempersembahkan karya-karya Scarlatti dan Mozart, ASAH juga menyuguhkan karya Donizetti - Don Pasquale, P.Tsaikowsky dan dua komposer Indonesia; Mochtar Embut dan Amir Pasaribu.

Mengakhiri performance malam ini, bersama Linda Suharso, Ary suguhkan sebuah karya legendaris Edward Gregson, Norwegian Dance, empat tangan satu piano. Kedua musikus ini kembali berbagi dalam satu piano; sebuah penampilan impresif, ekspresif dan tak terlupakan bagi mereka yang takjub dan takzim pada musik klasik.

Jalan Tuhan

Di akhir konser gratis musik klasik ini, hadirin diberi kesempatan untuk berdialog dengan ASAH. Karena itu, ke-9 personil ASAH diminta untuk tampil di depan penonton. Banyak yang mengacungkan tangan hendak bertanya atau sekedar berkomentar. Pastor Agus Senda mendapat kesempatan pembuka.

“Sudah sekian lama ASAH mengadakan tour keliling Indonesia, dari kota ke kota. Banyak tempat telah disinggahi. Tentu saja ASAH tak tutup mata terhadap berbagai persoalan hidup berbangsa. Pertanyaannya, bagaimana ASAH menyamankan nurani bangsa yang saat ini porak-poranda dengan musik klasik?” tanya pastor Agus Senda.

Singkat saja komentar Ary. "Musik itu bahasa universal! Musik itu membuat sehat jiwa dan badan. Dengan musik klasik, ASAH mau berbagi dengan memeluk indonesia.”

“Sastrawan Rusia, Dostoyevsky pernah menegaskan bahwa keindahan akan menyelamatkan umat manusia. Saya mengapresiasi penampilan ASAH malam ini dengan nuansa yang amat khas, perpaduan seni musik dan koreografi; Ary Sutedja-Mikhail David. Karena itu, kehadiran ASAH turut mengasah kreativitas kami terutama dalam membangun teamwork seperti yang ditunjukkan oleh ASAH,” demikian komentar pastor Felix Baghi, pengajar filsafat pada STFK Ledalero.

Menanggapi komentar yang amat singkat itu Ary berterima kasih karena dalam kebersamaan yang bersahaja ini Ledalero sanggup menangkap makna di balik tour ASAH, yakni hadirin dan para penikmat musik klasik diharapkan mampu berpikir kritis dan kreatif. “Sebab kreativitas manusia hanya berbataskan langit,” imbuh Ary Sutedja, pendiri JakArt, sebuah festival Seni, Budaya dan Pendidikan yang diadakan setiap tahun di Jakarta sejak 1999.

Pertanyaan terakhir diajukan oleh pastor Juan Orong. Ia bertanya pada Marcellino Gonzales yang juga berprofesi sebagai hakim. Barangkali kagum pada dua profesi yang disandang Gonzales, dunia tarik suara dan hakim, pastor Juan ingin tahu bagaimana menjelaskan hubungan dua dunia berbeda yang dijalani Gonzales.

“Jalan Tuhan. Sekali lagi ini jalan Tuhan. Jujur, saya sama sekali tak punya niat untuk menjadi hakim. Memang banyak orang ingin menjadi hakim tapi tak lulus juga dalam ujian seleksi. Dalam kaitan dengan pertanyaan mengenai hubungan antara rasa musik dan profesi, musik membantu saya untuk berpkir positif. Bermusik itu dunia saya sejak menjadi mahasiswa. Musik membantu saya untuk memiliki idealisme tersendiri. Salah ya salah. Saya tak bisa ikuti idealisme atau selera orang. Akhirnya musik itu menopang saya untuk lebih hidup dan kreatif”, terang Marcellino Gonzales, hakim yang pada 1998 menjadi vokalis terbaik musik rock se-Jawa Timur.

Di akhir pertunjukan ASAH yang singkat itu, Pastor Philip Tule mewakili komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero menyerahkan suvenir kepada masing-masing crew ASAH. Selain mampir di Ledalero, ASAH juga akan tampil di beberapa tempat di Flores; Mbay (17/09), Ruteng (18/09) dan Labuan Bajo (19/09).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun