Rasa itu nyata adanya. Ada rasa yang datangnya dari panca indera fisik,  ada pula rasa yang munculnya dari psikologi. Merasakan lapar dahaga, merasa perih saat tak sengaja tersayat pisau, ataupun merasakan kantuk merupakan rasa yang ditangkap karena adanya reaksi fisik. Manusia terdiri dari kombinasi fisik dan mental, sehingga ada pula rasa yang datangnya dari dalam pikiran. Perasaan yang muncul dari sensor-sensor mental dan ditangkap oleh otak menjadi sama nyatanya dengan rasa yang ditimbulkan sensor fisik. Itulah mengapa, merasa marah, sedih, jatuh cinta, bahagia, kecewa, dan "state of mind" lainnya adalah  hal yang nyata dan valid keberadaannya, atau dalam kata lain, perasaan bukanlah sebuah ilusi.
Pikiran, emosi, dan perasaan dianugerahkan kepada manusia sebagai bagian dari "skill set" kehidupan. Semua orang diberikan modal setelan pabrik meliputi kemampuan untuk merasakan dan berfikir, yang justru menjadikan manusia lebih istimewa dibandingkan dengan makhluk hidup lain. Menariknya, seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran dan neuroscience, diketahui bahwa saraf di otak yang membentuk mental dan psikologis seseorang ternyata merupakan sesuatu yang lentur dan dapat berubah.
Kemampuan untuk merasakan sesuatu sejatinya adalah sinyal yang dikirimkan oleh diri kita untuk mengantisipasi sesuatu. Sebagai contoh, saat tubuh mengirimkan sinyal lapar, berarti ia membutuhkan nutrisi sehingga kita harus makan. Saat tubuh mengirimkan sinyal sakit pada organ tertentu, maka ia mengirim pesan bahwa ada sesuatu yang salah  sehingga kita perlu ke dokter . Sebagaimana sinyal pada sensor fisik, perasaan yang muncul karena faktor psikologis juga bagian dari pesan yang dikirimkan oleh otak. Saat kita merasa sedih akan sesuatu, maka tubuh mengirim sinyal agar kita "take a look", mencerna, memperhatikan, atau mengevaluasi kondisi tersebut.
Belajar mendewasakan rasa memerlukan setidaknya 3 hal penting yang bisa dicontoh dari cara kita mengelola sinyal dari sensor fisik. Pertama, bring back the logic dengan mengakui bahwa rasa tersebut adalah sebuah sinyal valid yang dikirim oleh tubuh. Kedua, baik perasaan positif ataupun negatif, keduanya merupakan respon "inner self" terhadap suatu kejadian, yang barangkali maksudnya adalah tubuh mengirim "call to action", alias mengajak kita mencari solusi untuk menyelesaikannya by the logic, bukan hanya tenggelam dalam lautan perasaan. Last but not least, seperti halnya meminimalisir lapar dengan makan tepat waktu, atau menghindari sakit dengan cukup istirahat, burnout terhadap perasaan yang datang dari sensor mental juga bisa dicegah. Kuncinya ada pada kemauan untuk menyayangi diri sendiri, menghindari hal negatif seperti ekspektasi berlebih, prasangka, iri, dan dengki. Sebaliknya, mental kita memerlukan penerimaan diri yang cukup, sehingga pada saat perasaan negatif muncul, kita akan siap  untuk membuka diri, mengelola, dan mengasuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H